India dan Tiongkok berupaya mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak sawit dari negara lain. Berpotensi mengancam pasar ekspor Indonesia dan Malaysia.
India berupaya mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia. Setiap tahun, negara beribukota New Delhi ini harus mengimpor sawit sebesar 8 juta-9 juta ton atau sekitar 90% pasokan dari negara lain.
Pada Agustus lalu, Perdana Menteri India, Narendra Modi mengumumkan inisiatif baru untuk menghasilkan minyak sawit sendiri di dalam negeri. Skema ini bernama National Edible Oil Mission-Oil Palm (NMEO-OP) bertujuan membangun kemandirian minyak nabati. Tingginya harga minyak sawit menjadi pertimbangan pemerintah India supaya impor sawit bisa dikurangi.
Skema NMEO-OP ini telah mendapatkan persetujuan dari kabinet yang diketuai oleh Narendra Modi.
“Keputusan kabinet terhadap skema National Edible Oil Mission-Oil Palm telah menjadi game changer. Program ini akan membantu petani sawit dan mewujudkan Aatmanirbhar Bharat (red-India yang mandiri). Proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit ini dipusatkan di wilayah timur laut India, Andaman dan Kepulauan Nicobar,” ujar Modi.
Wilayah tersebut dipilih karena curah hujannya sangat tinggi. Saat ini, India mempunyai luas perkebunan sawit sekitar 300 ribu hektare (741,316 acres). Pemerintah India menargetkan perluasan kebun kelapa sawit menjadi 650,000 hektare (160,6184 acres) sampai 2026.
Seiring perluasan lahan, India memproyeksikan kenaikan produksi minyak sawitnya secara bertahap. Hingga 2026, produksi CPO domestik ditargetkan 1,12 juta. Selanjutnya naik bertahap menjadi 2,5 juta-2,8 juta ton sampai 2030.Saat ini, produksi CPO India sekitar 90 ribu-100 ribu ton per tahun.
Perdana Menteri Modi menjelaskan bahwa kebijakan menghasilkan minyak sawit di dalam negerinya didukung dana sebesar Rs.11.040 crore atau sekita US$ 1,5 miliar. Dana ini bersumber dari Rs.8.844 crore dialokasikan Pemerintah India dan Rs.2.196 crore disediakan negara bagian setempat.
Ada dua fokus pembiayaan program tersebut. Pertama, memberikan kepastian harga TBS petani melalui model Viability Price. Skema ini akan melindungi petani dari fluktuasi harga CPO internasional dan melindunginya dari ketidak pastian harga. Jaminan ini akan menanamkan kepercayaan pada petani kelapa sawit India untuk meningkatkan areal dan dengan demikian lebih banyak produksi minyak kelapa sawit.
Fokus kedua dari skema ini adalah meningkatkan bantuan input produksi dan intervensi pendampingan. Peningkatan bantuan dilakukan untuk bahan tanaman untuk kelapa sawit dan ini telah meningkat dari Rs 12.000 per ha menjadi Rs.29000 per ha. Peningkatan substansial lebih lanjut telah dilakukan untuk intervensi pemeliharaan dan tumpang sari. Bantuan khusus @ Rs 250 per tanaman diberikan untuk penanaman kembali kebun tua untuk peremajaan kebun tua.
India merupakan konsumen minyak nabati terbesar di dunia. Pada 2016-2017, total konsumsi domestik minyak sawit oleh India adalah 9,3 juta MT, dengan 98,97 persen di antaranya diimpor dari Malaysia dan Indonesia. Ini berarti India hanya memproduksi di dalam negeri 1,027 persen dari kebutuhannya.
Di India, 94,1 persen minyak sawitnya digunakan dalam produk makanan, terutama untuk keperluan memasak. Hal ini membuat minyak sawit sangat penting bagi ekonomi minyak nabati India.
Pada 2020, impor tersebut turun menjadi 7,2 juta MT dari 9,4 juta MT pada 2019 akibat pandemi Covid-19. Merujuk data Solvent Extractors bahwa India menghabiskan dana sebesar US$10 miliar untuk impor minyak sawit setiap tahun.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 119)