Jakarta, SAWIT INDONESIA – Perkembangan bioenergi Indonesia tidak selalu berjalan mulus, namun menghadapi sejumlah tantangan baik dari aspek infrastruktur dalam negeri hingga tantangan dari luar negeri. Akibat beragam tantangan tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat kinerja ekspor biodiesel anjlok 70 persen.
Demikian disampaikan Plt. Dirjen EBTK Kementerian ESDM Jisman P. Hutajulu dalam Seminar Tantangan Industri Bioenergi yang diselenggarakan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) di Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Jisman mengungkapkan berbagai tantangan bioenergi dalam negeri terdiri dari teknologi, ekonomi, infrastruktur, keberlanjutan suplai hingga keberterimaan masyarakat. Setiap aspek memiliki peran penting menuju net zero emission.
Menurutnya, perlunya bersama sama memetakan, mengidentifikasi dan menganilisis tantangan bio energi. Tantangan yang cukup kompleks sering kali memerlukan pendekatan terpadu dan solusi inovatif yang berkelanjutan.
“Tantangan dari sisi sustainability, jaminan ketersediaan bioenergi yang berkelanjutan dan tidak bersaing dengan produksi pangan, pakan ternak dan pupuk adalah sebuah tantangan yang signifikan,” ujarnya.
Selain itu, ada juga tantangan keterbatasan lahan untuk ditanami bioenergi berhadapan dengan isu konservasi alam, adalah hal yang kompleks yang perlu diselesaikan secara hati-hati dengan melibatkan seluruh stakeholder khususnya dari sisi hulu.
Dari sisi ekonomi, lanjut dia, industri bioenergi menghadapi tantangan biaya produksi yang seringkali lebih tinggi dibanding energi fosil dan keterbatasan insentfi yang dapat diberikan pemerintah.
Menurut Jisman adanya keterbatasan infrastruktur dan jaringan distribusi yang diperlukan untuk menghasilkan menyimpan dan mendistribusikan bioenergi seperti pabrik pengolahan biomasa, biogas, atau keterbasan untuk jaringan untuk menyerap listrik atau distribusi gas dari sumber bioenergi.
“Tidak semua masyarakat juga menerima bioenergi dengan baik karena ada kekhawatiran dampak lingkungan seperti penggunaan lahan seperti merusak ekosistem mempengaruhi biodiversity dan masalah keberlanjutan,” ucap Jisman.
Kendati begitu, dia mengatakan masalah tersebut tidak selalu datang dari dalam negeri, tapi juga dari luar seperti Uni Eropa dengan berbagai cara mendiskriminasikan biofuel Indonesia antara lain melalui Renewable Energy Directive atau RED II, tuduhan anti dumping, penggunaan bea tambahan khusus bio energi khusus sawit dan terbaru EUDR.
“Tantangan tersebut telah menurunkan ekspor biodiesel kita hingga 70 persen. Untuk mengatasi bio energi tersebut diperlukan pendekatan terpadu melibatkan berbagai pihak,” pungkasnya.
Penulis: Indra Gunawan