Penulis: Dr. Tungkot Sipayung
(Direktur Eksekutif PASPI)
EU akan memasang tarif impor 8-18 persen biodiesel sawit dari Indonesia mulai Januari 2020. Tarif impor berupa pungutan impor ( import levy) ini oleh EU sebagai anti subsidi biodiesel sawit Indonesia. kebijakan pungutan ekspor CPO yang kemudian sebagian digunakan untuk membiayai mandatori B20 menjadi B30, fasilitas dikawasan berikat, dituding sebagai subsidi biodiesel sawit.
Tudingan subsidi biodiesel sawit oleh EU yang demikian bukan hal yang baru. Tudingan serupa tahun 2013 juga dilakukan EU dan tidak terbukti melalui gugatan RI di WTO.
EU saat ini sedang galau karena sikapnya yang selalu mendua. Ingin menurunkan emisi, tapi tidak mau menurunkan kesejahteraan. Ingin minyak nabati impor yang sertifikasi sustainable, minyak rapeseed sendiri tidak ada sertfikasi sustainable. Bahkan produksi CSPO ( CPO yang sustainable) hanya 40 persen terserap EU. Karena ingin menggantikan fosil fuel (karena kotor) dengan biofuel, tapi takut ketahanan pangan EU terganggu (food-fuel trade off).
Solusi EU untuk atasi trade off tersebut adalah impor biodiesel seperti biodiesel sawit. Ini juga dipersoalkan karena kehadiran biodiesel sawit di EU mendesak biodiesel rapeseed dari EU sendiri.
Maka, dirancanglah kebijakan menghadang masuknya biodiesel sawit ke EU. Mulai dari non tarif barrier ( dikaitkan dengan deforestasi, ILUC) hingga tarif impor. EU tuduh biodiesel sawit RI dumping karena disubsidi, pada hal kebun rapeseed dan biodiesel rapeseed EU juga disubsidi baik subsidi langsung maupun subsidi tak langsung.
EU salah satu negara promotor free trade WTO, ketika free trade mengancam produk domestiknya seperti biodiesel rapeseed, ludah sendiri dijulat kembali dengan memasang berbagai non tariff barrier.
Susah memang menghadapi orang yang sedang galau. inkonsistensi sikap selalu muncul bahkan sering sikap mendua. Ibarat main sepak bola gawangnya pindah- pindah begitulah perilaku EU menghadapi gempuran sawit termasuk biodiesel sawit.
EU menuduh sawit high risk, sebetulnya EU sendiri high risk dengan sikapnya yang mendua dan inkonsisten. Ketidakpastian ( uncertainty) kebijakan jauh lebih berisiko dalam perdagangan dunia.
Manfaat perdagangan ( gain trade) yang melatarbelakangi WTO hanya mungkin terjadi dengan prinsip win win. EU juga mengekspor produknya ke Indonesia seperti Air Bus, maka EU juga sebaiknya tidak menghambat ekspor minyak sawit termasuk biodiesel Indonesia ke EU. Pertikaian perdagangan ( trade war) akan melahirkan kerugian bersama baik secara ekonomi, sosial maupun lingkungan.
Selain itu, sengketa dagang antara Indonesia dengan Uni Eropa di WTO mulai berlangsung. Indonesia menggugat lantaran Uni Eropa menuduh sawit sebagai high risk biofuel akibat ekspansi sawit berpotensi menggunakan lahan gambut dan konversi hutan, sehingga meningkatkan emisi dan ancam biodiversity. EU ancam menyingkirkan ( phase out) sawit dari Eropa mulai dari biodiesel sawit.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 99)