JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Penjualan saham PT Eagle High Plantation Tbk sebesar 37 persen resmi disepakati Grup Rajawali Group dengan Federal Land Development Authority (FELDA) Malaysia melalui anak perusahaannya, FIC Properties Sdn Bhd (FICP).
Nilai penjualan saham 37 persen ini sebesar US$ 505,4 juta. Deputi Direktur Pelaksana Rajawali Group Satrio Tjai, menjelaskan anak usaha Felda , FICP akan menguasai 37 persen saham milik EHP dengan total nilai sebesar US$ 505,4 juta melalui perjanjian jual beli (sale and purchase agreement/SPA)
Walaupun sudah deal, restu dari otoritas keuangan di Indonesia dan Malaysia masih ditunggu. “Kesepakatan telah selesai, tapi masih menunggu persetujuan dari otoritas terkait di kedua negara (Malaysia dan Indonesia),” kata Satrio dalam keterangan tertulisnya, Jumat, (23/2016).
Negosiasi diantara kedua grup usaha ini telah berlangsung setahun lamanya. Pada Juni 2015, Felda Global Ventures (FGV) dan Rajawali Corporation menandatangani kesepakatan pembelian saham sebesar 37 persen. Aksi bisnis ini disaksikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofjan Djalil dan Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Malaysia Dato’ Sri Mustapa Mohamad.
Suara sumbang sempat mengiringi kesepakatan penjualan saham ini. Nilai pembelian saham Eagle High dipandang kemahalan oleh pemegang saham FGV. Namun pendapat berbeda keluar dari mulut Presiden dan CEO FGV Grup Dato’ Mohd Emir Mavani Abdullah. Menurutnya pembelian saham PT Eagle High Plantations merupakan pembelian saham paling murah yang pernah dilakukan pihaknya.
Dalam perhitungan Dato’ Emir, FGV membeli Eagle High Plantations dengan harga enterprise value sebesar US$ 17.400 per hektare. “Harga ini jauh lebih murah ketimbang transaksi yang dilakukan FGV selama ini,” ujarnya seperti dilansir dari tempo.co.
Dalam jagad industri sawit, FGV – anak usaha of Federal Land Development Authority (FELDA ), perusahaan negara di Malaysia – termasuk grup kelapa sawit yang sukses mengintegrasikan sektor hulu dan hilir sawit. Dalam situs perusahaan, FGV menempatkan posisinya sebagai grup perkebunan nomor tiga terbesar di dunia dengan landbank mencapai 450.000 hektar.
Di Malaysia, FGV memiliki lahan seluas 370.922 hektar yang ditopang 71 pabrik sawit. Dalam setahun, rerata produksi CPO mencapai 3 juta ton. Hasil produksi ini digunakan menjadi bahan baku 12 refineri termasuk tiga refiner joint venture yang tersebar di Malaysia, Turki, Tiongkok, dan Amerika Serikat.
Sedangkan di Indonesia, FGV menguasai perkebunan sawit seluas 56.422 hektar di Kalimantan Barat. Antara lain melalui anak usahanya PT Citra Niaga Perkasa seluas 14.385 hektar dan PT Temila Agro Abadi serta PT Landak Bhakti Palma seluas 21.037 hektar.
Land bank yang dikuasai Eagle High Plantation diperkirakan 419 ribu hektar. Dari jumlah ini baru 152 ribu hektare lahan tertanam terdiri dari 76 persen lahan dengan tanaman sudah menghasilkan dan 24 persen belum menghasilkan. Sedangkan umur rata-rata tanaman yang sudah menghasilkan adalah 8 tahun.
Pasca akuisisi ini, FGV akan memiliki akses untuk mengelola 287 ribu hektar lahan belum tertanam. Dengan begitu, perusahaan punya kesempatan untuk mengelola kebun sesuai standar mereka. Untuk mencapai produktivitas tinggi, tidaklah sulit bagi FGV karena mereka punya lini bisnis benih sawit dan teknologi riset. Pada tahun ini, FGV menggandeng PT Mitra Agro Servindo sedang menjajaki penjualan benih sawit di Indonesia.(Felda Global dan Mitra Agro Servindo Bekerjasama Pasarkan Benih DxP Felda ML161)
Lalu, faktor apa lagi yang membuat FGV ngebet dalam pembelian saham Eagle High? Dengen menambah porsi saham dapat dipastikan anak usaha Felda ini lebih mudah untuk mendapatkan pasokan bahan baku CPO. Apalagi dari total lahan seluas 419 ribu hektar kebun sawit Eagle High Plantion, sekitar 67 persen berada di Kalimantan.
Dari kacamata geoekonomi, posisi Kalimantan sangatlah strategis karena tidak jauh dari Malaysia. FGV lebih mudah membawa hasil produksi CPO Eagle High Plantation untuk memenuhi bahan baku ke refinerinya di Malaysia. Atau bisa saja meningkatkan kapasitas refineri yang dimiliki Eagle High Plantation. Opsi ini bergantung orientasi pasar penjualan produk turunan, apakah ditujukan kepada pasar domestik Indonesia atau ekspor.
Ini berarti, bisnis hulu dan hilir FGV lebih tangguh di pasar CPO dunia. Semakin sulitnya mendapatkan lahan sawit baik di Indonesia dan Malaysia menjadikan opsi pembelian saham sangatlah ideal. Mengingat, FGV punya pengalaman lebih baik di sektor bisnis sawit ketimbang Rajawali Corporation.
Di masa depan, pendapatan FGV akan ditopang produk turunan sawit. Itu sebabnya, mereka harus mengamankan bahan baku khususnya pasokan sawit dari internal. Pada 2015, kontribusi produk turunan terhadap pendapatan sekitar 30%. Dalam kurun waktu dua tahun mendatang porsi pendapatan FGV dari produk hilir naik menjadi 40%.
Kerjasama bilateral sawit diantara Indonesia dan Malaysia juga menjadi pertimbangan bisnis FGV. Kedua negara produsen sawit ini sepakat membentuk Dewan Negara Produsen Sawit atau Council of Palm Oil Producing Countries. Yang diikuti langkah strategis melalui pembuatan kawasan ekonomi hijau sawit atau green palm economic zone. Lokasi kawasan ekonomi ini dalam proses beauty contest, antara Sumatera atau Kalimantan.
“Kami harapkan kerjasama ini mampu memberikan peningkatan kemitraan yang solid antara Indonesia dan Malaysia. Kerja sama tersebut bisa diupayakan untuk meningkatkan industri minyak sawit global melalui Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit ,” kata Satrio Tjai.
Dengan akuisisi ini, aksi bisnis FGV membuat ketat persaingan bisnis sawit di kawasan Asia dan dunia. Mengingat, pemain besar kelapa sawit berkumpul di dua negara yaitu Indonesia dan Malaysia.