JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) merilis data harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit berdasarkan penetapan Dinas Perkebunan di 22 provinsi sentra sawit. Periode waktu harga TBS sawit mulai dari 1-6 Mei 2023.
Berdasarkan kompilasi data harga TBS sawit tersebut, Banten dan Sulawesi Selatan menempati posisi paling bawah. Bahkan harga TBS kedua provinsi ini jauh lebih rendah dibandingkan Papua Barat yang mencapai Rp2.573/Kg.
Harga TBS sawit di Sulawesi Selatan berada di posisi buncit sebesar Rp1.800/Kg. Sedangkan, Banten menempati urutan ke-21 di mana harga TBS sawitnya rerata Rp1.900/Kg.
H.Rafiuddin, Ketua APKASINDO Luwu Utara, mengakui harga TBS yang diterima petani setempat jauh di bawah penetapan Dinas Provinsi.
“Harga TBS yang diterima petani sawit Luwu Utara sebesar Rp 1.500 pet kilogram. Ini harga pabrik. Sejak sebelum Lebaran pihak pabrik sudah menurunkan harga di bawah hasil keputusan bersama Tim Provinsi yaitu Rp.2.150/kg,” ujarnya melalui sambungan telepon.
Ia menjelaskan bahwa pabrik menurunkan harga dengan alasan mengikuti harga CPO di pasar global.”Alasan mereka harga CPO sedang turun,” jelasnya.
H. Wawan Jaro, Ketua DPW APKASINDO Banten juga mengeluhkan rendahnya harga TBS sawit di wilayahnya. Saat ini, harga TBS rerata Rp1.800 – Rp 1.880/Kg.
“Kalau di Banten, harga TBS tidak pernah lebih dari Rp2000 per kilogram karena pemerintah Banten tidak peduli dan faktanya enggan memperjuangkan di tim penetapan harga. Mereka tidak kasihan ke petani,” ujar Wawan.
Dr. Ir. Gulat ME Manurung MP, CIMA, Ketua Umum DPP APKASINDO, mengatakan sudah sejak 2 tahun lalu mengkritisi adanya disparitas harga TBS petani di 22 provinsi sawit sangat jauh selisihnya, padahal TBS di Sulawesi Selatan dengan TBS di Jambi sama saja sebagai bahan bakunya CPO dan pengolahan serta pemanfataan produk dari CPO serta turunannya menyebar diseluruh Indonesia.
Persoalan ini dimulai dari Permentan 01 tahun 2018 yang sangat tertutup dan banyak sekali substansi pasalnya yang menggantung, sehingga tiap orang bisa saja mengartikan dengan caranya sendiri, makanya berbeda-beda. Contohnya bisa dilihat dari ranking harga TBS di 22 Provinsi.
Dikatakan Gulat, anjloknya harga TBS sebagai dampak dari semua beban di hilir semua ditimpakan ke hulu (TBS). Seperti bea keluar, pungutan ekspor (levy), biaya operasional langsung (BOL) dan Biaya operasional tidak langsung (BOTL) di proses pengolahan TBS menjadi CPO. Praktis semua ini menekan indeks K (persentase bagian yang diterima oleh pemilik petani).
Sebagai contoh, jika indeks K sebesar 92% maka biaya-biaya beban tadi berarti 8% dan yang diterima petani adalah 92%. Namun dari 22 Provinsi sawit, rerata indeks K berada di angka 70%-85%. Lain lagi jika petani sawit swadaya, indeks K tidak masuk hitungan karena sesuka hati pabrik sawit menetapkan harga pembelian TBS. Masalah ini selalu lolos dari perhatian K/L terkait, padahal kita selalu bicara keberlanjutan tapi nampaknya untuk harga TBS petani tidak berlaku kebelanjutan tersebut.
“Inilah kelalaian ISPO yanh dominan bicara aspek dimensi lingkungan tanpa memperhatikan keseimbangan aspek ekonomi dan sosial TBS petani sawit,” ungkapnya.
Gulat menegaskan pabrik sawit nakal dan tidak patuh, bukan hanya terjadi di pabrik tanpa kebun melainkan semua pabrik melakukan apabila sumber buah sawitnya dari petani swadaya (non mitra). Inilah yang saya sebut “rakus dan maruk”. Perlu dicatat bahwa petani bermitra itu hanya 7% dari total luas perkebunan sawit rakyat, sisanya adalah petani swadaya.
“Bayangkan pabrik sawit yang merampok keringat petani sawit. Di sisi lain, regulasi dan ketegasan penindakan yang mengatur ini malahan absen atau kosong,” jelasnya.
Menurutnya rendahnya harga TBS sawit petani diakibatkan pelaksanaan Permentan 01/2018 yang diskriminatif, tidak akuntabilitas dan sangat tidak transparan.
“Kami minta Kementan jangan hanya berkiblat kepada pendapat seseorang yang mengaku bidannya permentan tersebut. Tapi, lihatlah 17 juta petani sawit dan pekerja sawit yang sudah berjibaku di kebun,” urainya.
Dikatakan Gulat, petani sawit merupakan investor sekalipun hanya investor kecil yang berhak dilindungi oleh regulasi. Karena itulah, Kementerian Pertanian segera menyelesaikan proses revisi Permentan tersebut.
“Saya mendengar Kementan sudah memproses revisi permentan tersebut dan berharap dengan berdirinya Direktorat sawit hal ini bisa semakin menjadi prioritas,” kata