Pembelian minyak sawit oleh Tiongkok menunjukkan tren penurunan sepanjang lima bulan tahun ini. Penurunan ini akibat pembelian kedelai dan minyak kedelai dalam jumlah besar. Pasalnya, kedelai bisa memenuhi kebutuhan minyak makan dan pakan ternak.
“Dari awal tahun, pembelian minyak sawit oleh Tiongkok menunjukkan tren penurunan. Pelaku industrinya lebih memilih impor minyak kedelai ketimbang sawit,” kata Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia.
Animo pelaku industri terutama industri pakan ternak Negara Tirai Bambu sangatlah tinggi untuk mengimpor kedelai. Komoditas tanaman semusim ini bisa diolah menjadi minyak makan, lalu limbahnya berguna untuk pakan ternak. Berbeda dengan minyak sawit terbatas kepada kebutuhan makan.
Industri pakan ternak tumbuh signifikan produksinya mencapai 200 juta metrik ton. Kemampuan produksi ini lebih tinggi 23% daripada tahun 2010. Walaupun terjadi pelambatan ekonomi, konsumsi daging terutama daging babi menunjukkan kenaikan. Produksi daging yang dihasilkan mencapai 109 juta metrik ton. Tak heran, kebutuhan daging ini berpengaruh positif kepada output pakan.
“Untuk kondisi sekarang, tidaklah mungkin kehilangan uang dari bisnis pakan di Tiongkok. Kecuali, ada masalah internal di perusahaan anda,” kata Wang Qian, analis pertanian Guotai Junan Securities Co seperti dilansir dari situs wattagnet.com. Pertumbuhan produksi pakan disebabkan sekitar 80% pengusaha peternakan di Tiongkok bergantung kepada pasokan industri pakan. Hanya 20% yang mampu hasilkan pakan sendiri.
Menghadapi situasi ini tidak mudah bagi eksportir CPO baik Indonesia dan Malaysia untuk mendongkrak penjualan di pasar Tiongkok. Bahkan, ekspor Malaysia ke Tiongkok sepanjang lima bulan terakhir anjlok 50%.
“Menguatnya konsumsi kedelai di Tiongkok semakin mengurangi pasar minyak sawit,” seperti dilaporkan UOB Kay Hian Research.
Faktor harga salah satu alasan kuat minyak kedelai sangat diminati pasar Tiongkok. Kalau tahun sebelumnya, selisih harga minyak sawit dengan minyak kedelai di atas US$ 140 per ton. Berbeda dengan tahun ini, gap harga makin mengecil menjadi US$ 85 per ton pada Mei kemarin.
“Industri peternakan terus tumbuh di Tiongkok akibat selisih harga yang tipis antara kedelai dan minyak sawit,” jelasnya.
Berdasarkan laporan dari Oil World, pada dua pekan terakhir April, pembelian minyak kedelai dilakukan Tiongkok secara besar-besaran. Imbasnya, stok minyak kedelai tercatat sangatlah tinggi semenjak tahun 2012.
Fadhil Hasan mengatakan permintaan minyak kedelai terus tergerus sejak awal tahun 2016. Pada Februari, ekspor minyak sawit Indonesia ke Tiongkok tergerus 4%. Memasuki bulan Maret, ekspor makin tertekan hingga turun 30%. Selanjutnya pada April, Tiongkok menurunkan impor minyak sawit dari Indonesia cukup signifikan yaitu sebesar 20% atau dari 185,95 ribu ton pada Maret menjadi 149,34 ribu ton pada April ini.
Merujuk kepada data U.S. Department of Agriculture (USDA), minat Tiongkok kepada minyak kedelai diperkirakan tumbuh 7,8% pada tahun ini. Sementara, kebutuhan terhadap minyak sawit sangatlah kecil 0,4%. Meningkatnya kebutuhan minyak kedelai membuat kapasitas pengolahan industri kedelai di Tiongkok tumbuh 10% menjadi 179 juta ton pada 2016.
“Konsumsi dan impor sawit di Tiongkok tidak akan seperti tahun 2000 di mana impor meroket double digit setiap tahunnya,” ujar Aurelia Britsch, analis komoditas senior BMI Research di Singapura, seperti dilansir dari Reuters.
Tiongkok bagi Indonesia adalah pasar tradisional CPO,selain India. Kebutuhan CPO di negara ini rata-rata 5 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, pasokan CPO dari Indonesia yang masuk 2,5 juta sampai 3 juta ton.
Untungnya, stok minyak sawit di dalam negeri dapat terserap di saat pelemahan ekspor CPO ke Tiongkok. Fadhil Hasan memaparkan berkurangnya stok CPO ditopang penggunaan biodiesel di dalam negeri yang berjalan secara konsisten.
Per April ini, produksi biodiesel domestik mencapai 253 ribu kiloliter (kl). Dari jumlah tersebut, penyerapan mencapai 233 ribu kl atau naik 16% dibandingkan dengan penyerapan pada Maret lalu.
Faktor lainnya adalah produksi minyak sawit Indonesia pada bulan April tidak naik signifikan. Beberapa daerah rata-rata mengalami penurunan produksi terutama di pulau Sumatera. Produksi minyak sawit yang mengalami kenaikan tipis hanya di pulau Kalimantan kecuali Kalimantan Tengah. Volume produksi minyak sawit Indonesia pada bulan April mencapai 2,34 juta ton atau naik 1% dibandingkan dengan produksi pada bulan lalu sebesar 2,32 juta ton.
Lebih lanjut, menurut Fadhil, stok akan semakin berkurang ditengah stagnasi produksi, mulai naiknya penyerapan biodiesel dan peningkatan ekspor.
Stok minyak sawit di sejumlah tanki penyimpanan mengalami penurunan sampai April kemarin. Ada tiga faktor yang mempengaruhinya antara lain produksi stagnan, peningkatan ekspor dan pertumbuhan konsumsi domestik.
Berdasarkan data GAPKI pada April ini, stok minyak sawit Indonesia termasuk biodiesel dan oleochemical turun sebesar 25% atau dari 3,02 juta ton pada Maret turun menjadi 2,27 juta ton pada April.
(Selengkapnya silakan baca di Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Juni-15 Juli 2016)