JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) merancang perubahan Peraturan Menteri Nomor 01/2018 mengenai Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Pekebun. Pasalnya, regulasi ini belum memberikan rasa keadilan bagi petani yang harus menerima beban tinggi dari struktur hulu dan hilir. Dukungan datang dari asosiasi lain seperti ASPEKPIR dan Samade.
“Permentan 01/2018 memang di zamannya sudah sesuai. Dulu memang cocok tetapi tidak untuk sekarang,” ujar Dr. Gulat ME Manurung, MP,C.IMA, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) di sela-sela FGD Peningkatan Kesejahteraan Pekebun Melalui Revisi Permentan 01/2018 Tentang Penetapan Harga Pembelian TBS Pekebun, Jumat (19 Agustus 2022).
Acara FGD ini juga dihadiri oleh petani sawit APKASINDO 22 Provinsi, yang diwakili 13 Provinsi APKASINDO, antara lain dari Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Papua Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Sumatera Barat, Riau dan Provinsi Banten serta asosiasi petani sawit dari ASPEK-PIR dan SAMADE.
Untuk menampung aspirasi, acara ini juga dihadiri 128 peserta dari 22 Provinsi melalui zoom. Tampak juga di layer zoom Proof Dr Agus Pakpahan, Ir R Aziz, M.Si dan Dr Purwadi perwakilan dewan pembina dan dewan pakar DPP APKASINDO. Diawal acara, Prof Agus Pakpahan, sebagai Ketua Dewan Pengawas DPP APKASINDO, memberikan arahan tentang fungsi sosial ekonomi, budaya sawit sawit sebagai perekat dan pemersatu bangsa.
Prof Agus juga menyampaikan nasehat tentang teori kepentingan bahwa “semua kepentingan harus dimenangkan” melalui kemerdekaan petani yang wujudnya adalah kemerdekaan untuk semua.
Firman Hidayat, Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi pada saat pemaparan menyampaikan bahwa sektor hulu dan hilir tidak bisa dipisahkan karena semua harus seimbang. Penyelesaian kelangkaan dan mahalnya minyak goreng bukan berarti mengorbankan sektor hulu. Saat ini urusan minyak goreng rakyat sudah terkendali dan tiba saatnya mendorong sektor hulu untuk kembali normal dengan berbagai kebijakan pemerintah.
“Saya sepakat dengan rencana penguatan Permentan Nomor 01 2018 untuk kebaikan ke depannya tentu harus menyesuaikan dan berkeadilan,” ujar Firman.
Elvira, perwakilan dari Direktorat Jenderal Perkebunan lebih menyoroti latar belakang lahirnya Permentan 01/2018. Karena itulah pentingnya transparansi sebagai kunci dari pelaksanaan Permentan ini.
“Untuk kebaikan dan penguatan Permentan, tentu kami dari Direktorat Perkebunan sangat senang dengan acara FGD ini. Untuk itu kami tunggu apa yang menjadi rumusan dari FGD ini, apalagi atas kehadiran ASPEKPIR dan SAMADE tentu akan lebih banyak masukan kalau bisa secapatnya karena hal ini juga sudah dibahas Bersama BPKP,” ujar Elvira.
Gulat mengatakan Apkasindo berkepentingan mengkajiulang substansi Permentan 01/2018 lantaran minimnya perlindungan bagi petani, terkhusus petani swadaya mandiri.
“Sebenarnya usulan revisi permentan ini sudah lama gaungnya. Namun sejak larangan ekspor gaungnya semakin keras dan membajiri medsos,” ujar Gulat.
“Kami petani sawit mengucapkan terimakasih atas lahirnya Permentan ini, mungkin di zamannya sangat cocok, tapi dinamika perkembangan petani sawit saat ini mengakibatkan permentan ini perlu segera diperkuat melalui revisi,” kata Gulat.
Andi Kasruddin Rajamuda, Ketua DPW APKASINDO Sulawesi Barat mengatakan Permentan yang dibuat empat tahun lalu ini sangat membebani seperti misalnya kebijakan sortasi yang tidak jelas standarnya dan potongan wajib timbangan yang sampai 36% di PKS. Selain itu, beban biaya operasional tidak langsung atau BOTL yang dipotong langsung dari duit petani yang tidak sesuai dengan “roh” dari BOTL tersebut.
Apalagi setelah survei ke 22 Provinsi sawit diketahui bahwa sama sekali penggunaan BOTL tersebut tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagaimana ditegaskan dalam permentan tersebut.
“Ini sangat bahaya dan berpotensi penyimpangan penggunaanya dan menurut hasil diskusi kami dengan pakar hukum hal ini bisa masuk ranah tindak pidana korupsi”, ujar Andi.
Betman Siahaan, Ketua DPW APKASINDO Provinsi Kalimantan Timur juga mengatakan bahwa ketidakjelasan definisi kemitraan juga sangat bias. Coba dibaca di Permentan tersebut bahwa “yang diwajibkan bermitra hanya petani sawit”, tapi perusahaan tidak diwajibkan jadi wajar saja persentase petani swadaya yang bermitra tidak sampai 7% setelah empat tahun berlakunya permentan tersebut.
Asosiasi lain seperti ASPEKPIR dan Samade juga sepakat untuk mengkaji ulang Permentan Harga TBS. Triantana, Wakil Ketua ASPEK-PIR (asosiasi petani kelapa sawit pola inti rakyat) mengatakan ada kejanggalan dalam biaya penyusutan pabrik sawit karena setelah 25 tahun berlalu seharusnya pabrik sudah menjadi milik petani sebagai mitra. Tapi faktanya masih dikuasai oleh perusahaan pabrik sawit tersebut.
“Ya seperti itu harusnya, karena biaya penyusutan PKS tersebut dibebankan ke petani,” tegas Triantana.
“Perbaikan lainnya adalah cangkang sawit perlu dijadikan komponen yang menentukan nilai harga TBS sawit petani. Karena limbah seperti cangkang dan limbah cair sawit itukan milik petani, ” jelasnya.
Pembahasan revisi Permentan 01/2018, diawali dari rapat internal asosiasi petani sawit pada hari pertama (18/8), lalu hari kedua dilanjutkan dengan FGD dengan mengundang pakar hukum perdata dan pakar hukum pidana. Turut juga memberi masukan dari Kantor Staf Presiden RI, GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Aawit Indonesia), Syaiful Bahari, SH., MH sebagai Pengamat Pertanian, Dr Sadino, SH., MH sebagai pakar hukum, Dinas Perkebunan Riau, LPPM Universitas Riau dan Dewan Pakar DPP APKASINDO.
Keluh kesah petani turut bermunculan dalam forum yang berlangsung selama dua hari ini. Kasriwandi, Ketua DPW APKASINDO Jambi, juga mengungkapkan pelaksanaan Permentan 01/2018 tidak tegas untuk mengawasi dan menjatuhkan sanksi kepada pihak perusahaan/pabrik sawit. Dalam Rapat penetapan harga TBS, pihak pabrik sawit sangat sedikit yang datang bahkan seringkali tidak hadir. Padahal, ada 83 unit pabrik sawit yang beroperasi di Jambi.
“Tapi, Pemprov Jambi tidak berani mengambil sikap tegas kepada pabrik yang melanggar Permentan 01 /2018,” jelasnya.
Betman Siahaan, Ketua DPW APKASINDO Kalimantan Timur, mengatakan tidak semua perusahaan ingin bermitra dengan petani karena tidak menjadi kewajiban dalam Permentan Harga TBS. Sedangkan, petani dituntut harus bermitra kalau ingin mendapatkan harga yang lebih baik. Faktanya, petani yang sudah bermitra belum tentu mendapatkan harga sesuai ketentuan provinsi.
Suroso, Ketua Litbang Samade secara tegas meminta revisi Permentan 01/2018 seperti pemberian sanksi kepada perusahaan yang melanggar isi aturan dan tidak dibeda-bedakannya harga TBS petani yang ditetapkan oleh dinas perkebunan seluruh Indonesia.