JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) belum mengetahui isi Permentan Nomor 01/2018 mengenai tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Pekebun yang diusulkan organisasi petani sawit seperti APKASINDO, Aspek-Pir, dan Samade.
“Jika ingin direvisi, kami belum tahu usulan (pasal-pasal) apa saja yang ingin direvisi,” ujar Eddy Martono, Sekjen GAPKI, di sela-sela Borneo Forum, Rabu (24 Agustus 2022).
Sebagai contoh berkaitan grading TBS sawit bergantung kondisi di lapangan. Eddy sepakat bahwa pabrik sawit harus fair apabila TBS bagus sebaiknya grading nol persen.
“Untuk grading, memang ada kekhawatiran pabrik menerima buah busuk dan ada janjang kosong. Ini bergantung kondisi buah juga. Kalau sama-sama fair dan buahnya bagus, maka pabrik tidak boleh tiba-tiba buah bagus di-grading (dalam jumlah besar),” jelasnya.
Eddy mengatakan dinas perkebunan dapat memainkan peranan untuk mengawasi kegiatan grading buah. Bagi pabrik yang “nakal”, petani diberikan akses untuk melaporkan kepada Disbun.
“GAPKI terbuka untuk berdialog dengan Apkasindo dan asosias iberkaitan revisi Permentan Harga TBS. Tapi memang (dialog) belum terealisasi sampai sekarang. Pasal apa saja yang ingin direvisi kami belum tahu,” jelasnya.
Menurutnya, GAPKI mengapresiasi FGD Permentan Nomor 01/2018 yang diinisiasi Apkasindo yang dihadiri asosiasi petani sawit lainnya seperti Samade dan Aspekpir.
“Jadi saling memberikan masukan, Apkasindo memberikan masukan berkaitan kendala selama ini (Permentan 01/2018) seperti ada pabrik sawit nakal, itu tidak boleh grading TBS sampai 13%,” ujarnya.
Dalam pertemuan dengan Dirjen Perkebunan, Andi Nur Alamsyah, menurut Eddy, GAPKI menegaskan kegiatan kemitraan itu wajib. Karena program kemitraan ini akan menjamin kepastian bagi perusahaan dan petani supaya sama-sama diuntungkan.
Pada minggu lalu, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) bersama asosiasi petani sawit lainnya seperti Aspek-PIR dan Samade sepakat mengusulkan perubahan Peraturan Menteri Nomor 01/2018 mengenai Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Pekebun. Pasalnya, regulasi ini belum memberikan rasa keadilan bagi petani yang harus menerima beban tinggi dari struktur hulu dan hilir.
“Permentan 01/2018 memang di zamannya sudah sesuai. Dulu memang cocok tetapi tidak untuk sekarang,” ujar Dr. Gulat ME Manurung, MP,C.IMA, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO).
Acara FGD ini juga dihadiri oleh petani sawit APKASINDO 22 Provinsi, yang diwakili 13 Provinsi APKASINDO, antara lain dari Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Papua Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Sumatera Barat, Riau dan Provinsi Banten serta asosiasi petani sawit dari ASPEK-PIR dan SAMADE.
Gulat mengatakan Apkasindo berkepentingan mengkajiulang substansi Permentan 01/2018 lantaran minimnya perlindungan bagi petani, terkhusus petani swadaya mandiri.
“Sebenarnya usulan revisi permentan ini sudah lama gaungnya. Namun sejak larangan ekspor gaungnya semakin keras dan membajiri medsos,” ujar Gulat.
“Kami petani sawit mengucapkan terimakasih atas lahirnya Permentan ini, mungkin di zamannya sangat cocok, tapi dinamika perkembangan petani sawit saat ini mengakibatkan permentan ini perlu segera diperkuat melalui revisi,” kata Gulat.
Asosiasi lain seperti ASPEKPIR dan Samade juga sepakat untuk mengkaji ulang Permentan Harga TBS. Triantana, Wakil Ketua ASPEK-PIR (asosiasi petani kelapa sawit pola inti rakyat) mengatakan ada kejanggalan dalam biaya penyusutan pabrik sawit karena setelah 25 tahun berlalu seharusnya pabrik sudah menjadi milik petani sebagai mitra. Tapi faktanya masih dikuasai oleh perusahaan pabrik sawit tersebut.
“Ya seperti itu harusnya, karena biaya penyusutan PKS tersebut dibebankan ke petani,” tegas Triantana.
“Perbaikan lainnya adalah cangkang sawit perlu dijadikan komponen yang menentukan nilai harga TBS sawit petani. Karena limbah seperti cangkang dan limbah cair sawit itukan milik petani, ” jelasnya.
Suroso, Ketua Litbang Samade secara tegas meminta revisi Permentan 01/2018 seperti pemberian sanksi kepada perusahaan yang melanggar isi aturan dan tidak dibeda-bedakannya harga TBS petani yang ditetapkan oleh dinas perkebunan seluruh Indonesia.