JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kalangan petani sawit meminta pemerintah dan pemangku kepentingan lain supaya lebih berani untuk menghadapi kampanye negatif dan tekanan dari negara lain seperti referendum penghapusan sawit dalam Free Trade Agreement (FTA) antara Indonesia dengan Swiss. Pemerintah Indonesia diharapkan melindungi kepentingan petani karena referendum tersebut bagian politik dagang dan strategi melindungi petani Swiss dari produk sawit asal Indonesia.
“Selama ini kita (Indonesia) telah menjadi penjaga gawang yang selalu ditekan terus. Kini cukup sudah, kita harus berani menyerang,” ujar Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), Ir. Gulat ME Manurung, MP.
Gulat Manurung mengibaratkan permainan bola bahwa industri sawit jangan lagi memakai strategi bertahan seperti penjaga gawang. Saatnya menjadi penyerang. Penjaga gawang itu ibarat orang asing di atas lapangan. Seperti pernah dikatakan Prof. Yanto Santosa, ibarat pertandingan sepakbola, bahwa Eropa itu suka memindah-mindahkan gawang. Ketika semua sudah fokus ke gawang, saat itu juga gawang dipindah. Kampanye negatif ini tidak akan pernah berhenti kecuali sawit bisa tumbuh di negara Eropa. Ditambah lagi, kampanye serta tudingan kepada LSM Domestik. Selain itu, kampanye positif sawit baik melalui media Indonesia maupun media luar negeri belum optimal untuk membangun imej positif sawit Indonesia.
Gulat mengibaratkan bahwa penjaga gawang ini merujuk kepada petani, pengusaha, pemerintah, dan semua kita sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia. Penjaga gawang harus menerima serangan-serangan dari berbagai penjuru, seperti serangan mempekerjakan anak di bawah umur, palm oil free, membakar hutan, membunuh hewan-hewan, minyak sawit penyebab kanker, deforestasi. Terakhir ada petisi sekelompok masyarakat Swiss yang meminta referendum penolakan produk kelapa sawit Indonesia, dimana petisi tersebut ditandatangani 59.200 orang yang di muat dalam 26 kardus, sesuai dengan jumlah kanton (provinsi) di Swiss.
Dalam pandangan Gulat, artian kata menyerang ini melalui meningkatkan produk turunan dari CPO. Sebagai contoh, pemanfaatan CPO menjadi campuran solar atau Biosolar. Dari awalnya B5 lalu meningkat menjadi B30. Strategi yang dilakukan oleh Presiden Jokowi sudah sangat bena begitupula pemanfaatan CPO sebagai campuran solar murni.
Dikatakan Gulat, sesungguhnya dengan strategi biosolar ini mengakibatkan negara-negara importir CPO justru ketar-ketir karena biosolar sesungguhnya saingan mereka. Semakin tinggi pemanfaatan CPO untuk biosolar maka ketersediaan CPO Indonesia untuk ekspor semakin terbatas karena tingginya kebutuhan domestic. Sesuai dengan teori ekonomi supply and demand maka harga yang harus dibayar negara importir CPO dengan semakin naiknya konsumsi CPO domestik, akan semakin mahal.
“Oleh karena itu, tidak usah terlalu ambil pusing dengan kampanye negatif negara-negara tujuan ekspor CPO. Yang kita lakukan saat ini adalah berhenti jadi penjaga gawang dan saatnya menjadi penyerang,” ujar Gulat.
Dalam wawancara dengan Swissinfo.ch, Duta Besar Indonesia untuk Swiss, Muliaman Hadad menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia menghormati aspirasi masyarakat di Swiss yang meminta referendum tersebut kepada Mahkamah Konstitusi sebagai bagian demokrasi. Namun demikian, pemerintah Indonesia memiliki komitmen kuat terhadap persoalan lingkungan. Yang harus dipahami bahwa minyak kelapa sawit punya produktivitas per hektar lebih tinggi daripada minyak nabati lainnya. Itu sebabnya, industri kelapa sawit membutuhkan lebih sedikit lahan dibandingkan dengan tanaman lain.
“Apabila tanpa minyak kelapa sawit, akan berdampak kepada peningkatan luas lahan yang digunakan minyak nabati jenis lainnya,” ujar Muliaman.
Dalam FTA Indonesia-Swiss, dikatakan Muliaman, bahwa kerjasama bilateral ini bukan hanya untuk minyak sawit. Prinsipnya menjadi kemitraan ekonomi yang komprehensif. Ada kuota ekspor minyak sawit Indonesia ke Swiss sebesar 10.000 ton per tahun dan harus mematuhi prinsip-prinsip berkelanjutan.
Sebagai perwakilan petani sawit yang tersebar di 22 provinsi, Gulat Manurung menyayangkan petisi boikot sawit Indonesia ini disebarkan bersamaan dengan kampanye menggunakan minyak goreng dari perasan biji canola, bunga matahari, kacang tanah, buah zaitun dan mentega susu adalah sangat baik untuk kesehatan. Mengapa mereka sebut demikian karena sebagian besar minyak Canola, Zaitun dan mentega susu ini berasal dari Petani Eropa yang dihasilkan Swiss juga. Ini tak terbantahkan bahwa semua kampanye negatif tentang sawit adalah politik perdagangan.
“Jika Swiss dan negara-negara UE lainnya tidak menghentikan segala kampanye negatif dan diskriminasi terhadap sawit Indonesia. Maka, APKASINDO akan mengeluarkan seruan kepada seluruh petani Sawit Indonesia di 117 Kabupaten-Kota dan masyarakat Indonesia supaya memboikot seluruh produk negara-negara UE terkhusus Swiss. Tiba saatnya menjadi penyerang, penyerang dengan full team,” pungkas Gulat.
Sementara itu, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB Prof. Sudarsono Soedomo mengatakan, kampanye tidak simpatik seperti dilakukan LSM dan sekelompok masyarakat Swiss lmenyudutkan pihak lain sebagai pelaku kejahatan lingkungan bisa masuk kategori kejahatan kemanusiaan.
“Pertanyaannya, mengapa kampanye untuk perbaikan lingkungan tidak dimulai dari industri yang lebih buruk dari sawit, ” tanya Sudarsono. Dalam beberapa tahun terakhir target kampanye LSM hanya menyasar pada perkebunan sawit sehingga menimbulkan tanda tanya besar.