Kawasan hutan yang baru melalui tahap penunjukan dan belum ditetapkan oleh Menteri berkekuatan hukum lemah sehingga untuk mendapatkan kekuatan hukum tetap diperlukan tahapan kegiatan penetapan kawasan hutan sebagaimana diatur UU No. 41/1999. Status hukum kawasan hutan yang belum ditetapkan Menteri diperjelas dengan putusan Mahkama Kontitusi (MK) No. 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012, yang intinya kawasan hutan yang ditunjuk sah namun belum memiliki kekuatan hukum mengikat. Kawasan hutan yang ditunjuk tetap sah seyogyanya dimaknai sebagai dasa kementerian yang mengurusi kehutanan dan pemangku kepentinganuntuk membangun kesepakatan atas pengakuan kawasan hutan sebagai wilayah untuk dibangun sebagai hutan tetap.
Setelah keluarnya keputusan MK No. 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012 dan adanya Not kesepahaman Bersama (NKB) antara 12 kementerian/lembaga pemerintah dengan komisi pemberantasan korupsi (KPK) tahun 2013, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan kebijakan percepatan pengukuhan kawasan hutan Indonesia (New Initiative). Kebijakan percepatan kawasan hutan tersebut adalah (KLHK 2014):
- Kawasan hutan yang telah ditetapkan masih dimungkinkan adanya klaim atas hak-hak pihak ketiga yang sah.
- KLHK mengeluarkan ketentuan dan mekanisme penyelesaian hak-hak pihak ketiga dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 44/Menhut-II/2012 jo. P.62/Menhut-II/2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, khususnya pada Pasal 23 dan Pasal 24.
- AMAR pada setiap Surat Keputusan Penetapan Kawasan Hutan terdapat klausul: “Dalam hal masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang sah dalam penetapan kawasan hutan ini, dikeluarkan dari kawasan hutan sesuai peraturan perundangan”.
- Penyelesaian hak-hak pihak ketiga melalui pembuktian hak-hak ketiga mengikuti ketentuan dalam PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Sumber: Forci Development