Penunjukan wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan yang didasarkan TGHK hanya bersifat indikatif sebagai Rencana Pengukuhan Kawasan Hutan defenitif. Namun, upaya tindak lanjut batas indikatif kawasan hutan dalam TGHK tidak menyelesaikan hak-hak masyarakat di wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan (di dalam batas penunjukan kawasan hutan). Selain itu, batas indikatif tersebut hanya berdasarkan penampakan hutan di peta dan tidak memberi ruang bagi penggunaan lain selain hutan. Walaupun terdapat wilayah yang dapat dikonversi untuk penggunaan lain, tidak ada tindakan sosial apalagi tindakan penyelesaian hak-hak masyarakat yang telah ada. Selanjutnya, pemberlakuan Undang-Undang Tata Rauang tahun 1992 (UU No. 24/1992) menghasilkan kawasan hutan seluas kurang lebih 122 juta hektar. Angka tersebut merupakan hasil padu serasi antara TGHK dengan Tata Ruang Wilayah.
KLHK (2014) melaporkan bahwa kawasan hutan mencapai luasan 122.404.872 hektar dan dari luasan tersebut capaian penetaan batas sampai dengan tahun 2009 baru mencapai 219.296 km (77,64 persen). Sementara itu, kawasan hutan yang telah ditetapkan baru mencapai 11,29 persen (KLHK, 2014). Kawasan hutan dalam perpektif Tata Ruang Wilayah lebih bersifat fungsi ruang sebagai arahan penggunaan ruang (Sumber daya lahan). Namun, kawasan hutan dalam perpestif kehutanan dimaknai sebagai wilayah yang dikuasai negara (cq. Kementerian yang mengurusi kehutanan) dan terkait oleh Peraturan Perundangan kehutanan. Disamping itu, pemaknaan kawasan budidaya yang berada dalam kawasan hutan diistilahkan dengan hutan produksi dan harus berupa hutan. Walaupun demikian, dilapangan wujud nyata kawasan hutan produksi banyak yang sudah bukan hutan (fisik), dan dalam perspektif daya dukung memungkinkan untuk digunakan budidaya selain hutan.
Sumber: Forci Development