Pasca keluarnya kebijakan percepatan penetapan kawasan hutan, dilaporkan sampai dengan September 2014 telah dilakukan penetapan kawasan hutan seluas 58.154.230,33 hektar (47,51 persen). Hal tersebut merupakan kemajuan yang sangat luar biasa dibandingkan dengan capaaian sampai dengan tahun 2009 yang hanya 13.819.510,12 hektar (11,29 persen). Walaupun demikian, prestasi penetapan kawasan hutan itu belum tentu memenuhi unsur legalitas hukum karena terdapat AMAR bahwa “ Kawasan hutan yang telah ditetapkan masih dimungkinkan adanya klain atas hak-hak pihak ketiga yang sah dalam penetapan kawasan hutan ini, dikeluarkan dari kawasan hutan sesuai peraturan perundangan”. Artinya, percepatan penetapan kawasan hutan dimungkinkan mengabaikan kegiatan penting dalam penataan batas, terutama tentang keberadaan hak-hak pihak ketiga dan proses partisipasinya yang lemah. Hal tersebut terkonfirmasi oleh kajian atas legalitas hasil pengukuhan kawasan hutan di Riau bahwa legalitas atas legalitas hasil pengukuhan kawasan hutan sangat lemah, akibat tidak dilakukannya penyelesaian masalah pengakuan lahan, dan proses partisipatif yang dilakukan bersifat semu (Sinabutar et al, 2015 dan Suwarno 2017).
Ilustrasi diatas menunjukan bagaimana negara meng-hegemoni melalui penguasaan kawasan hutan sekaligus legalitas kawasan hutan tersebut tidak legitimate karena belum mematuhi keputusan MK No. 45/PUU-IX/2011 dan proses pengukuhannya tidak dilakukan secara parsitipatif. Di samping itu hehemoni negara terhadap kawasan hutan mengaburkan tujuan awal Pengukuhan Kawasan Hutan yang mana dalam Undang-Undang kehutanan mandat yang diberikan kepada pemerintah cq. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men LHK) adalah mempertahankan dan membangun hutan tetap, bukan menguasai wilayah. Oleh karenanya dalam perspektif penguasaan wilayah, sekalipun kawasan hutan yang telah ditetapkan ternyata tidak lagi berhutan, bagaimana larangan terhadap segala aktivitas selain kegiatan kehutanan menurut undang-undang tetap dipertahankan. Paradigma inilah yang mendasari tindakan jerat hukum terhadap pihak-pihak ketiga yang tinggal dan hidup dalam kawasan hutan akibat berbagai kegiatan pemanfaatan yang mereka lakukan terhadap kawasan hutan yang sudah tidak berhutan tersebut. Hla ini tergambar dengan masyarakat di Desa Teluk Pulai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, sebagai berikut:
Sumber: Forci Development