Selanjutnya, penguasaan negara atas tanah dapat dikuasakan kepada derah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat. Sekedar dilakukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah (Pasal 2 , ayat 4). Hak kepemilikan dan hak-hak lain nya atas tanah masyarakat hukum adat mengacu pada ketentuan-ketentuan hukum adat setempat, selama undang-undang hak milik belum ada (Pasal 56).
Undang-Undang Pokok Agraria memberikan mandat kepada Pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia (Pasal 19), melalui pengukuran pemetaan dan pembukuan tanah, dan pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Akan tetapi, dalam hal melakukan pendaftaran tanah, kapasitas pemerintah sangat terbatas. Karena itu, banyak hak-hak perorangan, keluarga dan masyarakat menjadi tidak terdaftar. Kemudian, tanah-tanah tersebut dianggap sebagai tanah-tanah negara.
Hak kepemilikan atas tanah sebagaimana diatur Undang-Undang Pokok Agraria diatas menjadi rujukan bagi Undang-Undang Pokok Kehutanan (UU No. 5/1967). Pada tahun 1960an ketika proses penyusunan UU No. 5/1967, hutan primer masih melimpah terutama di luar Pulau Jawa, sehingga Pemerintah melalui Menteri yang mengurusi kehutanan diberi mandat menguasai seluruh hutan di wilayah Republik Indonesia, dengan menetapkan kawasan hutan sebagai hutan tetap, dan hutan diluar kawasan hutan sebagai hutan cadangan dan hutan lainnya. Undang-Undang Pokok Kehutanan menjadi instrumen yang sangat kuat menguasai hutan sebagai hutan eksplisit menyatakan kawasan hutan yang dijadikan hutan tetap sebagai hutan negara, namun dengan beralas pada pengertian tanah milik pada undang-undang Pokok Agraria mengakibatkan Kawasan Hutan berkonotasi sebagai Hutan Negara.
Sumber: Forci Development