JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintah belum mengambil keputusan terkait lanjut atau tidaknya pembebasan pungutan ekspor sawit. Sebab, batas waktu pembebasan pungutan sampai 31 Mei 2019, kalaupun kebijakan ingin diteruskan akan memperhitungkan pergerakan harga CPO global.
“Tunggu hasil rapat. Jangan menebak-nebak (kelanjutan pungutan),” ujar Menko Perekonomian RI, Darmin Nasution, saat dimintai tanggapan rencana penerapan pungutan ekspor, pada akhir Mei kemarin.
Sebagai informasi, pemerintah menerbitkan beleid yang membebaskan industri dari pungutan ekspor sawit. Beleid ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No.23/PMK.05/2019 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Keuangan No 81/PMK.05/2018 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Regulasi ini berlaku mulai 11 Maret 2019 yang berlaku hingga 31 Mei 2019. Dalam aturan disebutkan bahwa pungutan ekspor tetap dibebaskan setelah 1 Juni 2019 dan seterusnya, apabila harga CPO di bawah US$ 570.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Perdagangan bahwa harga referensi produk minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) Juni 2019 sebesar US$ 547,17 per metrik ton (MT).
Rusman Heriawan, Ketua Dewan Pengawas Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit memperkirakan pungutan ekspor tidak akan berlaku dalam waktu dekat. “Sepertinya pemberlakuan pungutan akan ditunda, karena faktor harga CPO,” ujarnya saat acara buka puasa bersama BPDP-KS pada pertengahan Mei 2019.
Tetapi, kalangan pengusaha hulu dan hilir sawit berbeda suara menyikapi persoalan pungutan ekspor. Bambang Aria Wisena, Ketua Bidang Perpajakan dan Fiskal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meminta pungutan ekspor berjalan seperti sekarang karena terdapat sejumlah kendala yang perlu perbaikan. Pertama, harga patokan (treshold) yang sudah lama tidak disesuaikan. Beberapa tahun terakhir biaya produksi meningkat akibat faktor inflasi dan UMP. Dengan meningkatnya biaya maka margin biaya produksi dengan harga jual semakin tipis.
“Jika harga patokan terendah masih dipertahankan, maka akan dikejar biaya produksi,” ujarnya.
Bambang Aria meminta supaya formula tarif pungutan diubah tidak seperti yang berlaku sekarang. Sifat pungutan yang seharusnya progresif malahan menjadi agresif. Penghitungannya, tarif lebih tinggi untuk selisih harga range di bawahnya, bukan pukul rata seperti terjadi sekarang ini.
“Mekanisme progresif harusnya seperti PPh. Kalo PE (red-pungutan ekspor) yang sekarang menurut saya bukan progresif tapi agak agresif. Jadi pengenaannya harus sesuai dengan prinsip pajak progresif,”pinta Bambang.
Ia meminta tarif pungutan dihitung lebih cermat. Bisa dimulai dari kecil dulu semisal CPO dikenakan US$5 dan produk bebas tarif. Imbasnya, akan terjadi distorsi kepada harga TBS sawit petani.
Dari sektor hilir, Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), mendesak pemerintah supaya pungutan ekspor kembali dijalankan seperti sebelumnya. Tanpa punguta, daya saing ekspor dikhawatirkan melemah dan menguntungkan negara kompetitor seperti Malaysia.
Ia menjelaskan penundaan pungutan ekspor sawit mengakibatkan refineri mangkrak seperti pabrik RBD dan food. Kondisi ini disebabkan tidak kompetitifnya daya saing produk hilir di pasar ekspor.
“Kalau ekspor CPO masih dapat margin 2 sampai 3 dolar. Tetapi jika di industri hilir, ada biaya pengolahan dan transport. Akibatnya (produk hilir) tidak dapat marjin karena kalah bersaing,” ujar Sahat.
Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Fadhil Hasan menjelaskan bahwa industri hilir minyak sawit di Indonesia sulit menyaingi Malaysia tanpa penerapan pungutan ekspor. Terutama bagi pasar ekspor seperti India yang memberikan keringanan kepada produk minyak sawit dari Malaysia 5% lebih rendah dibanding asal Indonesia sejak Januari lalu.
Sebagai informasi, India memberikan diskon bagi tarif impor CPO dari 44% menjadi 40% untuk minyak sawit mentah (CPO). Perlakuan berbeda diberikan kepada produk hilir sawit dimana tarif impor dari Malaysia ditetapkan 45% dan produk olahan sawit dari Indonesia dibebankan tarif 50%.
Kalangan petani sawit meminta pemerintah untuk membuat studi yang komprehensif dan mendalam berkaitan pungutan ekspor sawit. Gulat ME Manurung, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta pungutan ekspor semestinya dapat melindungi harga TBS petani sawit. Ada tiga poin penting yang harus diperhatikan untuk revisi skema pungutan ekspor PMK. Pertama, ditetapkannya system periodik besar kecilnya potongan ekspor.
Kedua, ada peninjauan harga terbawah (threshold) dari harga referensi yang akan dikenakan pungutan. Ketiga, dapat dilakukan penetapan pungutan ekspor CPO tanpa menggunakan threshold artinya pungutan tetap ada berapun harga CPO per tonnya.