Pemerintah kembali menunda kewajiban minyak goreng kemasan yang dijadwalkan mulai berlaku April 2017. Peralihan dari minyak goreng tanpa label (curah) menjadi kemasan butuh persiapan matang. Kebijakan ini tidak didukung persiapan memadai terutama fasilitas pengemasan.
Dua bulan sebelum pelarangan minyak goreng curah, pengusaha minyak goreng yang tergabung dalam Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) bertemu Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan, di kantornya yang berada di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat. Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, menceritakan dalam pertemuan ini pengusaha menyinggung pemberlakuan larangan minyak goreng curah yang dijadwalkan mulai 1 April 2017.
“Produsen minyak goreng tidak siap dengan aturan menteri perdagangan ini. Kalau tetap dipaksakan bisa chaos,” kata Sahat Sinaga.
Aturan yang dimaksud Sahat adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.9/M-DAG/PER/2/2016 yang menyatakan kewajiban minyak goreng kemasan mulai berlaku 1 April 2017 untuk minyak goreng berbahan baku sawit. Beleid ini menggantikan Permendag No.21/2015 yang mewajibkan pengunaan kemasan untuk minyak goreng berbasis sawit pada 1 April 2016.
Kepada Enggartiasto Lukita, Sahat Sinaga menjelaskan ada dua alasan mengapa mandatori minyak goreng kemasan tidak bisa dipaksakan pada Apri 2017. Pertama, bulan Juni tahun ini sudah masuk Ramadhan dan jelang perayaan Idul Fitri. Alasan berikutnya adalah produsen minyak goreng belum siap.
Solusinya, GIMNI mengusulkan perbedaan waktu persiapan investasi fasilitas pengemasan antara Jawa dan luar Jawa. Untuk di pulau Jawa, masa transisi mulai berlaku pada 1 Juni 2017 selama 18 bulan. Sedangkan di luar Jawa, kata Sahat, diusulkan masa transisi selama 16 bulan mulai 1 September 2017. “Tetapi Pak Menteri tidak setuju. Maunya berlaku secara nasional dengan masa transisi dari 1 September 2017 hingga 31 Juni 2019. Artinya 1 Juli 2019 resmi berlaku nasional,” cerita Sahat.
Ditemui dalam kesempatan terpisah, Enggartiasto Lukita mengatakan pihaknya sudah mengakomodir usulan pengusaha minyak goreng. Waktu penerapan kewajiban minyak goreng kemasan diundur menjadi 2020. Tidak jadi berlaku pada April 2017. Alasannya pemerintah perlu mempersiapkan secara matang kebijakan ini terutama untuk fasilitas pengemasan.
“Sudah ada beberapa kesepakatan dengan industri minyak goreng. Pemerintah sadar pengemasan minyak goreng butuh persiapan lebih panjang. Waktu persiapan dimulai dari tahun 2018 lalu berakhir pada 2020,” kata Enggartiasto Lukita.
“Berbagai hal harus disiapkan dari sekarang karena itu ada peta jalannya, tidak mendadak. Kalau begitu mendadak stok, langsung inflasi naik,” tambanhnya.
Dalam hitungan GIMNI, program mandatori migor kemasan butuh dukungan 1.522 mesin pengemasan di 140 lokasi kabupaten dan kota. Masing-masing mesin pengemasan berkisar 5-6 line di pulau Jawa. Alasannya konsumsi minyak goreng di Jawa mencapai 60% dari total konsumsi nasional. Sedangkan luar Jawa, mesin pengemasan perlu sekitar 3 line.
Sahat menjelaskan pemasangan line yang merata di seluruh daerah bertujuan mencegah gejolak harga minyak goreng. Itu sebabnya pemerintah daerah bersama koperasi setempat perlu terlibat. Pembangunan fasilitas pengemasan diperkirakan menyerap tenaga kerja sebanyak 8.000 orang.
“Memang kesepakatannya Menteri Perdagangan minta harga bisa dijaga supaya tidak menimbulkan inflasi besar,” ungkap Sahat.
Mundurnya penerapan kebijakan minyak goreng curah sudah terjadi beberapa tahun belakangan. Niatan mengubah kemasan minyak goreng curah menjadi lebih higienis mulai digagas pada 2011. Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu periode pemerintahan SBY, menyebutkan pemerintah sedang mendorong masyarakat agar beralih dari minyak goreng curah ke minyak goreng kemasan yang memiliki mutu lebih baik dan sehat. “Diperlukan waktu hingga 2014 untuk menggantikan seluruh minyak goreng curah ke dalam kemasan,” kata Mari pada 2011.
Tetapi upaya menghilangkan minyak goreng tanpa kemasan tidaklah mudah. Setiap tahun, Kementerian Perdagangan merevisi beleid mengenai kewajiban minyak goreng curah. Alasan utama adalah ketidaksiapan fasilitas pengemasan.
“Sering saya katakan kepada menteri perdagangan ini bukan persoalan keluar kepmen terus jalan. Pemerintah perlu tanggung jawba supaya terealisasi. Pelaku usaha sifatnya membantu saja,” pinta Sahat.
Dari kebutuhan 1.522 packing machine, baru ada 90 packing machine yang dimiliki anggota GIMNI. Di luar jumlah tadi, industri pengemasan baru ada 15 packing machine. Sahat Sinaga mengakui penambahan fasilitas packing line diperkirakan butuh investasi sebesar Rp 3 miliar-Rp 4 miliar. Total investasi packing line di seluruh Indonesia diperkirakan butuh dana Rp 3,6 triliun-Rp4 triliun.Di seluruh Indonesia, jumlah refineri sebanyak 86 unit. Dari anggota GIMNI, baru 18 unit refineri yang terdaftar mengajukan MinyaKita.