Realisasi Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) terus menurun setahun terakhir. Banyak kendala menghadang terutama legalitas lahan. Padahal 2022 merupakan target terakhir PSR dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dr. Gulat ME Manurung, MP, CIMA, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), merasa resah dengan capaian PSR sepanjang 2021 sampai awal tahun ini. Dari data Kementerian Pertanian, realisasi sepanjang 2021 hanya tercapai 15,41% atau sekitar 27.747 hektare dari target seluas 180 ribu hektare.
“Tahun 2022 merupakan tahun terakhir pencapaian target 540 ribu hektare,” ujar Gulat. Bahkan sampai 24 Februari 2022, realisasi PSR bertengger di 1.199 hektare atau 0,67%. Berpijak dari data tadi, sebenarnya Gulat telah menganalisis lambatnya perjalanan PSR.
“Tantangan PSR sangatbanyak dan cukup pelik diantaranya birokrasi, sosialisasi dan pendampingan, legalitas lahan, perencanaan kerja dan laporan pertanggungjawaban, akses bibit yang sulit, serta harga saprodi yang terus naik, kemitraan dan dana tambahan serta pemeriksaan aparat hukum,” ujar Gulat saat menguraikan presentasinya dalam webinar Mendorong Realisasi Peremajaan Sawit Rakyat pada pertengahan Maret 2022.
Diakui Gulat, tantangan terberat PSR merupakan legalitas lahan. Hampir 84%, petani gagal di level paling rendah pengusulan kabupaten karena terindikasi dalam kawasan hutan. Yang kedua akses bibit sulit, karena ketersediaan akses bibit pada saatakan replanting.
Sebagian besar persoalan legalitas lahan calon peserta PSR karena berada dalam kawasan hutan, meskipun telah memiliki umur tanaman 25 tahun lebih (84% gagal usul).
Dalam presentasinya, Gulat mencontohkan, sejumlah studi kasus permasalahan lahan yang dialami petani sawit salah satunya KUD Raharja Tani Jaya. Petani yang transmigran sejak tahun 1986 dan sudah memiliki SHM sejak tahun 1991 pada lahan seluas 255,82 ha. Namun berdasarkan overlay kawasan hutan, ternyata lahan sawit petani anggota KUD Raharja Tani Jaya masuk dalam kawasan areal Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 239,89 ha atau hampir 93,77%.
Persoalan serupa terjadi KUD Tiga Koto dengan lahan seluas 2.501,15 ha milik petani plasma yang sudah memiliki SHM sejak tahun 1999-2005. Namun berdasarkan overlay kawasan hutan, lahan sawit petani anggota KUD Tiga Koto masuk dalam kawasan areal Hutan Produksi Konversi (HPK) 2.501,15 Ha (SK.903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016).
Seretnya keinginan petani mengikuti PSR juga disebabkan beragam persoalan seperti minimnya informasi PSR kepada petani yang mengganggap dana hibah menjadi pinjaman (wajib dikembalikan) informasi bersifat eklusif.
Terkait administrasi, Gulat menyebutkan ada persoalan konfirmasi administrator akun yang cukup lama khususnya dari disbun Kabupaten/kota. Pengembalian berkas hasil verifikasi dari dinas kabupaten cukup lama.
Dari kalangan perbankan, dikatakan Gulat, cenderung tidak paham program pola PSR sehingga hanya mau menjadi fungsi penyalur dana hibah. Petani cenderung enggan tidak mau mengajukan pinjaman ke bank dikarenakan minimnya edukasi oleh Bank.
Di sisi lain, banyak peserta yang sedang melaksanakan PSR, cenderung“ditakut-takuti” oleh para aparat penegak hukum sehingga mengurungkan niat calon petani lainnya mendaftarkan PSR.
Bila persoalan PSR tidak segera diselesaikan, Gulat menghawatirkan akan adanya resiko yang akan dihadapi Indonesia. Salah satunya, kehilangan 35% produksi minyak sawit, ekspor minyak sawit, devisa sawit, pajak dan dana sawit. Karena itu, Gulat mengusulkan para digma baru PSR. Diantaranya menjadikan petani PSR sebagai operator bukan hanya sekedar objek. Sesuai Permentan No 03/2022 jangan meninggalkan petani mandiri (non mitra). Sawit eksisting tertanam untuk PSR harus Tol-Clear untuk PSR sesuai Undang-Undang Cipta Kerja.
Peneliti Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Ratnawati Nurkhoiry mengakui ada empat titik kritis yang menjadi faktor realisasi PSR. Mulai dari kesiapan pekebun, kesiapan bahan tanaman unggul, kesiapan kelembagaan pekebun dan kemitraan.
“Harus diakui bahwa titik kritis berasal dari kesiapan dari pekebun itu sendiri. Apakah siapa tau tidak untuk melakukan peremajaan,” jelasnya.
Ratna menegaskan selain dana peremajaan sebaiknya ada dana pendamping untuk pekebun, kemudahan akses dana hingga pendampingan kultur teknis tanaman inter cropping untuk mendapatkan jaminan pendapatan selama masa Tanaman Belum Menghasilkan (TBM).
Aspek lain yang harus diperhatikan adalah kesiapan bahan tanaman unggul untuk menjadi bibit sawit PSR. Selisih Produktivitas diantara petani dengan perusahaan masih cukup tinggi. Karena itu, program PSR ini harus mengoptimalkan penggunaan bibit sawit unggul.
Aspek penting lainnya adalah kesiapan kelembagaan pekebun. Kelembagaan ini untuk meningkatkan posisi tawar terhadap sarana produksi, pendanaan dan pemasaran hasil. Kemitraan dalam proses peremajaan, akses sarana produksi, pendanaan dan pemasaran hasil juga menjadi titik kritis realisasi PSR ini.
Gulat mengatakan upaya menyelesaikan persoalan kawasan hutan di lahan calon peserta PSR sudah dilakukan. Antara lain membangun komunikasi dengan pihak Kementerian LHK melalui dialog langsung.
“Tetapi dua tahun setelah dialog berlangsung. Hasilnya belum tampak sama sekali. Makanya, kami lakukan berbagai terobosan dengan menyurati berbagai pihak. Tujuannya PSR cepat berjalan,” ujar Gulat.
Salah satu cara menyelesaikan legalitas adalah skema UU Cipta Kerja. UUCK ini hanya menyediakan 4 tipologi penyelesaian permasalahan secara umum. Tipologi Pertama adalah pekebun yang dalam kawasan hutan tapi memiliki STDB (surat tanda daftar budidaya) maka dapat diselesaikan (dikeluarkan dari Kawasan hutan) melalui mekanisme Pasal 110A setelah membayar biaya PSDH-DR. (Provisi Sumber Daya Hutan – Dana Reboisasi).
Tipologi Kedua adalah Pekebun yang dalam Kawasan hutan tapi tidak memiliki STDB, maka dia wajib membayar denda administrasi sebagai mana ketentuan Pasal 110B, kemudian setelah denda tersebut dibayar, pemerintah memberikan izin untuk melanjutkan kegiatan perkebunan di Kawasan hutan produksi selama 1 (daur) atau 20 tahun. Sedangkan apa bila kebunnya berada di Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Konservasi, maka areal tersebut wajib dikembalikan kepada negara. Ini berarti mekanisme yang diatur dalam Pasal 110B tidak memungkin bagi petani untuk memiliki lahannya.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 125)