JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Keputusan pemerintah menghapuskan Spent Bleaching Earth (SBE) merupakan langkah tepat. Di negara manapun, kegiatan proses produksi minyak nabati yang dimurnikan dari material getah dan trace-metal, maka SBE masuk kategori sebagai “solid-waste” material.
Hal ini diungkapkan Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) untuk menjawab tuduhan sejumlah NGO dan peneliti dari LIPI yang tidak setuju SBE dijadikan limbah non B3. Sebagai informasi, SBE ini berasal dari material bleaching earth yang digunakan dalam industri pengolahan sawit.
Menurut Sahat, penamaan bleaching earth banyak ragam. Di Inggris, material ini dinamakan “fuller’s earth”. Sementara Amerika, bahan pemutih ini disebut “bentonite” ( ditemukan di Arkansas, Death Valley, Utah dan Montana). Dengan acidifikasi, hasil filtrasi dan daya serap permukaan “ montmorillonite” semakin baik.
Dijelaskannya bleaching earth itu tanah fuller, sejenis tanah liat (clay) dan sangat aktif sebagai absorben dengan komponen utama berupa oksida[1]oksida Si, Al, Fe, Mg dan K . Agar berdaya serap lebih tinggi lalu diolah dengan cara pelumatan bahan galian, diacidifikasi, dikeringkan, dan lebih dihaluskan agar luas permukaan bahan menjadi lebih besar
Sahat menjelaskan SBE tidak dikategorikan Limbah B3 karena bahan pemucat (bleaching earth) bukanlaH bahan B3. Setelah itu diolah menjadi minyak nabati (non B3).”Logikanya, bahan non B3 bercampur dengan B3. Lalu kenapa harus dimasukkan limbah B3?” tanya Sahat.
“Di berbagai negara, limbah SBE dapat diolah dengan teknologi untuk menurunkan kandungan minyak kurang dari 3%,” ujar alumni Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung ini.
Menurutnya, SBE dapat diolah menjadi produk bernilai tambah melalui teknologi solvent extraction. Mengurangi kandungan minyak di SBE melalui teknologi Solvent Extraction dengan memakai pelarut hexan.
Teknologi Solvent Extraction dapat mengolah B3 –SBE menjadi produk seperti pasir De-OBE dan minyak R-Oil. Produk yang dihasilkan dari ekstraksi antara lain subtitusi pasir untuk pembuatan bahan bangunan, bahan pupuk mikronutrisi, pelapis dasar jalan raya, bahan baku keramik, re-use bahan baku bleaching earth, dan bahan baku semen.
“SBE ini merupakan sumber daya baru. Dapat mendatangkan investasi dan punya nilai tambah dengan teknologi,” ujar Sahat.
Di Malaysia, SBE telah dikaji bermanfaat untuk pupuk di perkebunan sawit. Pendekatan ini dilakukan dalam riset KY Cheong (2013) berjudul “Effect of spent bleaching earth based bio organic fertilizer on growth, yield and quality of eggplants under field condition”. SBE dapat diolah menjadi pupuk organik yang diformulasikan dengan batang sawit, pelepah kelapa sawit, dan tandan kosong.
Sahat menyayangkan kalangan LSM dan peneliti yang tidak membaca utuh subtansi PP Nomor 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Spent Bleaching Earth (SBE) ditetapkan menjadi limbah non B3 sebagaimana tercantum dalam lampiran XIV. SBE dengan kode N108 dalam lampiran PP Nomor 22/2021 disebutkan Proses industri oleochemical cikal dan/atau pengolahan minyak hewani atau nabati yang menghasilkan SBE hasil ekstraksi (SBE Ekstraksi) dengan kandungan minyak kurang dari atau sama dengan 3%.
“Pelaku industri hilir sawit sanggup mengikuti regulasi pemerintah. Sudah ada teknologi untuk menekan kandungan minyak SBE di bawah tiga persen,” jelasnya.
Walaupun demikian, PP Nomor 22/2021 mengatur bahwa Spent Bleaching Earth (SBE) tetap dikategorikan limbah B3 apabila kandungan minyak lebih dari 3%. Sebagaimana tertera dalam tabel 4 mengenai Daftar Limbah B3 dari Sumber SpesifiK Khusus. SBE di tabel ini memiliki kode B413.