Lahan yang tadinya sudah ditanami kelapa sawit oleh ayah tiga anak ini, belakangan sudah diselipi oleh ratusan batang tanaman akasia. Tak cukup bagi Joni hanya mengandalkan surat yang diteken oleh kepala desa Talang Tujuh Buah Tangga, Kecamatan Rakit Kulim, agar bisa diakui sebagai pemilik lahan tadi. Joni tak sendirian bernasib seperti itu, ada lebih dari 300 kepala keluarga di desa Talang Tujuh Buah Tangga yang bernasib sama. Tanah yang mereka beli dari orang kampung disana atas orang yang dipercaya oleh orang kampung itu, tidak busa mereka kuasai lantaran diklam oleh perusahaan.
Tak lebih baik pula nasib mereka yang ada di desa tetangga seperti Durian Cacar, Talang Elok, Pring Jaya. Mereka bermasalah dengan perusahaan yang sama. Orang-orang di kecamatan Pauranap pun, sudah pula bersitekak dengan PT. Citra Sumber Sejahtera (CSS) dan begitu juga orang-orang di Lubuk Batu Jaya,bersoal dengan PT. Rimba Peranap Indah (RPI). Pada 2008 lalu tempo.co menulis, ada 1.789 konflik lahan terjadi di Riau. Dari angka sebanyak itu, 76 persen diantaranya adalah konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Pertannyaannya, apa yang menyebabkan konflik itu terjadi? Dan kenapa Hendri Alfian dan puluhan ribu manausai di Riau bisa terjebakdi kawasan hutan?
Sengkarut Tanah Buruan
Dalam buku statistik Dinas Kehutanan Perovinsi Riau 2014 yang diterbitkan pada tahun Desember 2015, ada Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 173/Kpts-II/1986, tanggal 6 juni 1986. SK ini katanya telah di up date pada 2012. Isinya sebagai berikut; Hutan Lindung (HL) seluas 208.910 hektar, Hutan Produksi Tetap (HP) 1.638.519 hektar, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 2.952.179hektar, Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) 1.769.966,27 hektar dan Areal Peruntukan Lin (APL) 1.719.364,73 hektar.
Penulis : Abdul Aziz