Menteri Kehutanan telah mengabaikan Peraturan Pemerintah Nomor: 10 Tahun 2010 dan Peraturan Pemerintah Nomor: 60 Tahun 2012 tentang Tata Cara Perubahan Peruntuikan dan Fungsi Kawasan Hutan yang intinya; Menteri dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja sejak menerima laporan itim terpadu, melakukan pembahasan akhir penelitian tim terpadu. Eyes on The Forest(EoF) malah mengendus kalau SK 673 yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan tadi hanya akal-akalan untuk melegalkan izin konsesi HTI yang selama ini bercokol di Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT).
Dalam lembar laporan setebal 26 halaman yang diterbitkan pada April 2018, EoF merinci bahwa ada lahan seluas 340.707,95 hektar yang digarap oleh 29 perusahaan HTI di kawasan HPT. Sejak SK 673 diterbitkan, HPT tadi pun berubah menjadi Hutan Produksi Tetap (HPT). Alhasil peubahan ini telah membikin keberadaan konsensi 29 perusahaan tadi tidak lagi melangar hukum.
Sebab dalam aturan main yang ada, HTI wajub berada di kawasan HP yang tidak produktif seperti yang tertera pada PP 34 tahun 2002, PP 6 tahun 2007 dan PP 3 tahun 2008. Begitu mudah Menteri mengotak-atik status kawasan hutan demi korporasi. Namun pertanyaan yang kemudian muncul, apa ganjaran yang diberikan oleh negara kepada pemilik konsesi dan memberi izin tadi? Sebab lagi-lagi berdasarkan data yang disodorkan oleh Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dan EoF, tutupan hutan alam di 29 konsesi tadi masih berkatagori baik, bahkan ada yang mencapai 277 meter kubik perhektar.
Penulis : Abdul Aziz