Hutan Tanaman Industri (HTI) menjadi pilihan pemerintahan Soeharto di tahun ’90 an setelah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang dibikin sejak tahu 1970 gagal melestarikan hutan. Aturan main yang hanya boleh menebang pohon dengan diameter minimal 50 cm dilarang oleh pemegang HPH, belum lagi mereka membagi hutan diluar izin HPH. Padahal sepanjang 1970-1980, Kementerian Kehutanan sudah memberikan hutan seluas 60 juta hektar untuk di acak-acak perusahaan HPH ini.
Kelakuan tadilah yang membikin hutan menjadi berantakan. Sudahlah berantakan, janji perusahaan HPH menanam kembali bekas kayu yang ditebang pun tidak dilakukan. Biar kejaian ini tidak berlarut, Soeharto kemudian meneken Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Inti peraturan ini adalah menanami kembali Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) yang tidak produktif. Untuk menjalankan project raksasa ini, ada lima perusahaan Industri Hutan Negara Indonesia (Inhutani) didirikan. Persero ini dimodali Negara lewat Dana Reboisasi (DR) yang dipungut oleh hasil produksi HPH tadi, USD 4 per meter kubik kayu.
Pungutan ini sebenarnya bukan masuk ke kocek Negara, tetapi sebagai jaga-jaga mana tahu kelak perusahaan HPH tidak menanam kembali, maka negaralah yang menanami pake duit DR itu. Untuk mengarap project HPHTI tadi, perusahaan swasta ternyata boleh ikut di dalam Inhutani. Bahasa kerennya , perusahaan patunganlah. Swasta cukup menyediakan 21 persen dari total duit modal yang dibutuhkan. Selebihnya sudah disediakan oleh Negara. Lagi-lagi sumber duitnya berasal dari dana DR tadi. Baik dalam bentuk hibah tunai 23,9 persen, pinjaman dengan bunga nol persensebanyak 43,9 persen dan pinjaman komersial 12,1 persen (periode 1990-1999).
Penulis : Abdul Aziz