Tengok saja hitung-hitungan yang dibikin oleh salah seorang pekerja pada Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) Group di tahun 2006 lalu. Waktu hitung-hitungan itu dia bikin, ada sekitar 3000 kepala keluarga masyarakat Riau yang menjadi mitra perkebunan akasia di lahan seluas 19 ribu hektar.
Kalau akasia sudah dipanen, masyarakat akan kebagian duit Rp. 14,4 juta dari dua hektar hasil panen akasia. Sekilas angka ini nampak besar. Tapi kalau dibagi 72 bulan (6 tahun), duit yang bisa masuk ke kocek masyarakat hanya Rp. 200 ribu per bulan.
Detail hitungannya begini; setiap dua hektar kebun akasia menghasilkan kayu sebanyak 720 ton. Untuk satu ton akasia yang bermitra dengan masyarakat, perusahaan memperoleh Rp. 20 ribu. Ini berarti, Rp. 20.000 x 720 : 72 = Rp. 200 ribu. Pendapatan ini tentu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan hasil dua hektar kelapa sawit masyarakat yang saat itu sudah berada diangka Rp. 2,5 juta per bulan. Begitulah Elaeise dan Eucaliptus itu.
Bagian lain dari buku ini adalah cerita tentang betapa rumitnya manusia di Riau untuk bisa memiliki lahan. Bahkan lahan yang jelas-jelas dibeli dari hasil keringat sendiri, tidak aman. Banyak lahan masyarakat itu kemudian ternyata terjebak di kawasan hutan disaat jauh sebelumnya masyarakat tak pernah mengerti apa itu kawasan hutan. Saking rumitnya urusan tanah ini, muncul omongan bahwa bintang telah lebih berharga dibanding manusia.
Penulis : Abdul Aziz