Anjloknya harga sawit menekan pendapatan dan laba bersih emiten. Kebijakan efisiensi dijalankan dalam rangka mempertahankan kinerja.
Di penghujung Februari 2020, Santosa, Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk, mengungkapkan optimismenya begitu melihat harga sawit di awal tahun ini. “Harapannya harga jual tahun ini bisa lebih baik dibandingkan tahun lain. Apalagi harga jual di Januari 2020 sudah menyentuh harga RM 3.000,” ucap Santosa.
Santosa menyebutkan apabila harga anjlok seperti tahun kemarin, maka laba bersih perusahaan semakin tergerus. “Idealnya harga jual CPO tidak sama seperti tahun lalu, harapannya dapat naik lagi sekitar Rp 400 per kilogram,” jelas Santosa.
Dalam laporan tahunan Astra Agro disebutkan bahwa harga jual rerata minyak sawit tahun 2019 turun 8,1% menjadi Rp 6.689 per kilogram, dibandingkan harga yang dicatatkanPerseroan di tahun 2018 sebesar Rp 7.275 per kilogram. Faktor inilah yang membuat kinerja keuangan emiten berkode AALI ini tidak optimal.
Ditambah lagi, produksi Perseroan di tahun2019 lebih rendah dibandingkan rencana kerja yangdipersiapkan oleh manajemen Perseroan di akhirtahun 2018 akibat musim kering yang lebih lama dari perkiraan. Perseroan memproduksi TBS dari kebun inti dan plasmasebesar 5,02 juta ton pada tahun 2019 atau turun 12,8%dibandingkan tahun 2018 sebesar 5,76 juta ton. Begitupula, pembelian TBS pihakketiga juga mengalami penurunan sebesar 16,4%menjadi 3,18 juta ton pada 2019 daripada tahun sebelumnya berjumlah 3,81juta ton.
Pabrik perseroan mampu mengolah TBS sebesar 8,20 jutaton. Dengan jumlah produksi CPO sebesar 1,65 juta ton pada 2019 atau merosot 14,6% dari tahun 2018 sebesar1,94 juta ton. Begitupula produksi Kernel juga mengalami penurunanyakni 17,7% menjadi 346,37 ribu ton pada tahun 2019,dibanding tahun 2018 sebesar 420,95 ribu ton.
Beruntung, perseroan mencatat volume penjualan CPO pada tahun2019 sebesar 1,74 juta ton atau naik 6,5% jika dibandingkantahun 2018 sebesar 1,63 juta ton. Alhasil, pendapatan perusahaan tidak terjerembab begitu dalam.
Astra Agro mencatat pendapatannya turun 8,5% menjadi Rp 17,45 triliun pada 2019, ketimbang tahun 2018 berjumlah Rp 19,08 triliun. Penurunan pendapatan ini disebabkan oleh melemahnya harga CPOmelemah. Walaupun secara keseluruhan, volume penjualanCPO dan turunannya tumbuh sebesar 3,5%. Alhasil, besarnya laba yang dapat diatribusikan kepada PemilikPerusahaan mengalami penurunan sebesar 85,3% dariRp 1,44 triliun pada tahun 2018 menjadi Rp 211,11 miliarpada tahun 2019.
“Mengakhiri tahun 2019 dan mengawali tahun 2020ini, Perseroan melihat awal titik optimisme mengingatmulai membaiknya harga minyak sawit dunia akibatpertumbuhan produksi minyak sawit yang lebih rendahdari perkiraan dan komitmen kebijakan penggunaanbiodiesel B30 di Indonesia sehingga mengurangipasokan minyak sawit di pasar dunia. Momentumini memberikan harapan adanya perbaikan kinerjakeuangan Perseroan di tahun 2020 ini,” ujar Santosa dalam laporan keuangan.
Astra Agro mengalokasikan belanja modal senilai Rp 1,3 triliun pada 2020. Sekitar 50% dari anggaran belanja modal akan dipakai untuk peremajaan tanaman berusia tua atau di atas 25 tahun. “Karena ini program kami jangka panjang dan tidak boleh berhenti,” ujarnya.
Kemudian, sebesar 30% akan digunakan untuk biaya infrastruktur dan biaya perawatan pabrik. Sisa capex akan digunakan untuk menambah kapasitas pabrik. Tapi, jumlah penambahan kapasitas baru akan ditentukan usai kuartal III tahun ini. Pasalnya, masa panen puncak di tahun lain bisa dibilang tidak ada karena kemarau panjang.
Pada 2019, ANJT mencatatkan pendapatan sebesar USD 130,4 juta atau setara Rp 1,84 triliun, mengalami penurunan sebesar 14,1% dibandingkan dengan 2018 sebesar US$ 151,7 juta atau Rp 2,17 triliun. Penurunan ini bersumber dari merosotnya harga jual rata-rata dan volume penjualan CPO dan PK.
Dari laporan perusahaan diterangkan bahwa Harga Jual Rata-rata (HJR) CPO sebesar US$ 479/metrik ton lebih rendah 5% dari HJR di 2018 sebesar USD 504/metrik ton. Sementara itu, HJR Palm Kernel (PK) pada 2019 sebesar US$ 261/metrik ton atau minus 31,5% dibandingkan HJR PK pada 2018 sebesar US$ 381/metrik ton. Di sisi lain, volume penjualan CPO dan PK perusahan turun masing-masing 2,6% dan 4,0% menjadi sebesar 239.800 metrik ton dan 52.115 metrik ton pada 2019 dibandingkan penjualan CPO dan PK pada 2018 yang sebesar 246.138 metrik ton dan 54.285 metrik ton.
Dampaknya, emiten berkode ANJT ini mencatat rugi bersih sebesar US$ 4,6 juta dibandingkan dengan rugi bersih sebesar US$ 0,5 juta pada 2018.Faktor ini juga menyebabkan EBITDA mengalami penurunan dari US$ 25,1 juta pada 2018 menjadi US$ 22,9 juta pada 2019.
PT London Sumatera Indonesia Tbk juga mengalami turunnya pendapatan seperti emiten lain. Penjualan Lonsum tahun 2019 merosot 8% menjadi Rp3,70 triliun dibandingkan tahun sebelumnya berjumlah Rp 4,01 triliun. Dampaknya, laba tahun berjalan yang diatribusikan kepada pemilik induk turun 23,4% menjadi Rp253,9 miliar daripada tahun sebelumnya sebesar Rp 331,4 miliar.
Volume penjualan CPO turun 4,2% yoy menjadi 417.533 ton sedangkan volume penjualan PK dan produk turunan PK meningkat 10,6% yoy menjadi 124.908 ton. Sementara itu, harga jugal rata-rata CPO dan PK turun masing-masing 2% yoy dan 43% yoy.
Benny Tjoeng, Presiden Direktur Lonsum mengatakan Lonsum menghadapi harga komoditas yang rendah terutama harga produk sawit yang mempengaruhi kinerja Perusahaan. Namun demikian pada 4Q2019, Lonsum mencatat kinerja keuangan yang solid dengan laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp201 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan periode 4Q2018 dan periode 3Q2019 terutama karena pemulihan harga CPO yang kuat pada 4Q2019.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 101)