Tanpa pengetahuan memadai, sekelompok suster mengelola kebun sawit seluas 80 hektare. Hasilnya mereka gunakan untuk biaya pelayanan sosial, pendidikan, kesehatan, dan pastoral.
“Sawit ini menghidupi kegiatan kami. Misinya bukan untuk bisnis. Tapi dipakai kegiatan sosial, kesehatan, dan pendidikan,” cerita Suster Loly Fianti Manalu pada pertengahan September 2018.
Kegiatan wawancara dengan Suster Loly di sela-sela Seminar Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO). Bersama dua orang temanya, ia tekun menyerap informasi dan pengetahuan berkaitan kelapa sawit. “Kami kurang tahu cara berkebun. Makanya datang ke seminar ini. Berkat rekan-rekan Apkasindo (Riau), mereka bantu untuk teknis merawat sawit,” ujar Suster Loly.
Ia bercerita kebun sawit dikelola oleh para suster semenjak 1996. Lokasinya berada di sekeliling Gereja Santo Fransiskus Assisi Indakiat bagian dari Kongregasi FCJM (Franciscanae Filiae Sanctissimae Cordis Jesus et Mariae). Gereja ini berlokasi di Desa Pantai Cermin Kecamatan Tapung, Kampar, Riau. Lantaran minim pengetahuan, kondisi kebun menjadi tak terawat. “Kami buka kebun, niatnya bukan bisnis. Makanya langsung tanam saja,” Jelas Suster Loly.
Menurutnya, “Pertama dibuka lalu tanaman mati. Mati lalu bisa tumbuh, itupun berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Akhirnya bisa tumbuh juga. Itulah yang menopang sikit-sikit.”
Dalam sebulan, rata-rata produksi kebun bisa 100 ton. Namu hasilnya tak menentu. Dari hasil panen tadi, pendapatan yang diperoleh sekitar Rp 100 juta. Itupun, kata Suster Loly, belum dipotong pengeluaran operasional. Karena bukan dikelola profesional, pendapatan belum pasti sebesar tadi. Ibaratnya, antara buah yang masuk dan pengeluaran tidak seimbang.
Untuk mengelola kebun, para suster mempekerjakan masyarakat desa sekitar. Adapula perantau. “Suster ini perempuan semua, mana kuat untuk egrek atau dodos,” kata Loly sambil tersenyum.
Pekerja yang merawat tanaman tidak sampai 10 orang. Mereka bertugas memanen buah atau pupuk tanaman. “Tidak ada karyawan tetap, istilahnya mereka bisa masuk atau keluar begitu saja. Kebun ini belum punya struktur manajemen. Itu tadi, karena kami ini tak paham teknis,”ungkapnya.
Hasil panen dijual ke ramp yang berada di sekitar kebun sawit. Ramp adalah tempat penampungan panen TBS sawit petani, biasanya dikelola individu atau koperasi. Menurut Suster Loly, panen kebun di jual ke ramp dekat kebun. Jual ke ramp lebih praktis. Tidak perlu antri seperti di pabrik. Alasan lainnya, pabrik kerap kali memotong harga cukup besar.
Pertimbangan lain jual ke ramp, harga yang diberikan lebih tinggi. “Walaupun saya kurang mengerti juga, apakah benar itu harga tertinggi atau tidak. Bisa juga mereka bermain di timbangan. Karena banyak ramp katakan bisa berikan timbangan yang bagus,” jelasnya.
Pendapatan dari sawit, kata Loly, dibagi-bagi untuk membiayai aktivitas sosial. Para suster enggan meminta-minta ke masyarakat. Kalaupun ada sumbangan dari jemaat, tidaklah seberapa. “Daripada kami mencuri atau menipu, inilah yang kami kerjakan. Mengambil hasil dari kebun sawit,”paparnya.
Banyak kegiatan yang harus dibiayai antara lain membantu kegiatan beberapa panti asuhan di Pematang Siantar dan Timor Leste. Adapula membantu Rumah Sakit Rehabilitasi penderita cacat di daerah Pematang Siantar, Atambua, dan Nias.
Selain itu, duit dari panen sawit tadi dipakai membantu pendidikan suster. Juga membantu suster yang lanjut usia misalkan ketika sakit. Menurut Suster Loly, para suster mesti kreatif mencari dana untuk seluruh kegiatan tadi. Tanpa bantuan materi dari negara atau gereja.
“Untuk pelayanan tadi darimana biayanya. Makanya, dibukalah kebun sawit. Tidak ada yang masuk ke kantong pribadi (suster). Semua hasilnya dilaporkan kepada pimpinan,” ujar perempuan kelahiran Tapanuli Utara ini.