JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kalangan petani sawit meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menunda pengesahan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Substansi aturan ini dinilai tidak tepat waktunya dan memberatkan petani sawit karena kebun petani sawit diwajibkan bersertifikat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).
“Kami APKASINDO sangat setuju dengan Konsep ISPO. Konteks keberatan petani sawit dalam Draf Perpres tersebut ketika petani diwajibkan ISPO. Disinilah, petani belum siap, berbeda jauh dengan korporasi yang sudah banyak mendapatkan sertifikasi ISPO,” jelas Ir. Gulat ME Manurung,MP, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Selasa (27 Agustus 2019).
Gulat menyebutkan sangat wajar korporasi jauh lebih siap karena perusahaan lebih terdepan dalam hal legalitas kebunnya. Dari sisi SDM, mereka menyekolahkan staf level manager dan staf legal paling tidak 10 orang tiap perusahaan untuk belajar ISPO. Lain halnya petani sawit dari seluruh Indonesia baru 4 orang yang berkesempatan belajar untuk menjadi Auditor ISPO.
“Sangat menyedihkan, ketika Pak Jokowi menggaungkan konsep Nawacita untuk dirasakan masyarakat secara luas, tetapi disaat yang sama Menteri terkait salah menerjemahkannya,” ujar Gulat.
Gulat Manurung, yang juga Auditor ISPO, mengatakan sadar atau tidak, bahwa draft rancangan Perpres ISPO yang sudah menyebar di kalangan petani sawit, akan menjadi titik nol kehancuran ekonomi kelapa sawit rakyat. Persoalan petani sawit adalah bahwa kebun sawit swadaya masih terjebak dalam kawasan hutan dan syarat utama ISPO adalah kebun sawit Petani harus diluar kawasan hutan. Tidak dapat dibayangkan apa yang terjadi bagi 12 juta keluarga petani sawit jika aturan ini disahkan.
“Kondisi sekarang, tidak diwajibkan ikut ISPO saja petani sudah babak belur dengan harga TBS yang diterima petani. Apalagi dengan Wajib ISPO, akan menjadi alasan PKS (pabrik sawit) menolak TBS Petani karena tidak memiliki Sertifikat ISPO, yang berujung kepada murahnya harga yang diterima,”ujar Gulat.
Merujuk data Komisi ISPO, sertitikat ISPO yang dimiliki Koperasi Pekebun Plasma-Swadaya baru 10 sertifikat dengan luas 6.236 Ha. Luasan ini baru 0,107 % dari luas total 5,807 juta hektar. Jumlah ini jauh lebih rendah dari perusahaan perkebunan swasta yang mencapai 4.896.546 hektar atau 63% dari luas total 7,788 juta hektar. Kalau untuk korporasi sudah lumayan baik progresnya.
Dari data tersebut, kata Gulat, dengan sistem sertifikasi ISPO yang bersifat voluntir (sukarela) sebagaimana tertuang di dalam Permentan No 11 Tahun 2015 mengenai ISPO, keterlibatan petani yang ikut ISPO baru 0,107% dari total luas kebun sawit petani. Jika diwajibkan ke Petani, maka akan ada konsukwensi hukum dagang di dalamnya.
Menurutnya, berkaca dari rendahnya partisipasi petani seharusnya Kementerian Perekonomian melakukan evaluasi. Tetapi yang terjadi, petani malah diwajibkan mengikuti sertifikasi ISPO seperti yang tercantum dalam Perpres ISPO.
Effendi Sianipar, Anggota Komisi IV DPR RI, ketika ditemuin oleh Gulat Manurung di Gedung Nusantara 1, mengatakan bahwa regulasi pemerintah harus berpihak kepada masyarakat. Dalam Konteks ISPO harus memikirkan kepentingan petani yang lebih luas.
“Jika petaninya belum siap harus dicari mengapa dan apa yang belum siap tersebut, diselesaikan permasalahannya dan kalau sudah clear baru dibuat Perpres ISPO ini,” ujarnya.
Menurut Effendi, Peraturan Menteri Pertanian 11/2015 masih cukup relevan saat ini sambil menyelesaikan kendala yang dihadapi petani seperti kebun sawit petani yang masih terjebak di dalam kawasan hutan, “saya dengar itu persoalan utamanya”, ujar Effendi Sianipar. Disinilah Negara harus hadir mencarikan solusinya.
“Kita tidak mengatakan Perpres (ISPO) kurang bagus. Petani harus dibantu keluar dari permasalahannya, perlakuan khusus wajib dilakukan kepada Petani, tidak boleh disamakan dengan korporasi,” ujar Politikus Fraksi PDIP asal Riau ini yang terpilih kembali ke Senayan.
Dari Hasil Penelitian dan Survey APKASINDO di 22 Provinsi dan 116 Kabupaten Kota Perwakilan Apkasindo di seluruh Indonesia, diketahui bahwa minimnya petani sawit yang ikut ISPO, dikarenakan kendala persoalan status kawasan hutan, 68% Petani memilih kendala utamanya adalah legalitas kebun sawitnya yang masih terjebak dalam kawasan hutan, sementara syarat utama ISPO adalah kebun harus di luar kawasan hutan.
“Inilah persoalan utamanya yang seharusnya diselesaikan dahulu bukan sebaliknya, sekali lagi saya sampaikan bukan kami tidak mendukung ISPO, tapi beri kami waktu dan bantu kami dari segi legalitas kebun kami, ujar Gulat dengan serius.
“Petani sawit saat ini sudah cukup menderita dengan rendahnya harga TBS yang diterima petani swadaya. Maka jangan lagi ditambah berbagai macam aturan,” jelasnya.
Gulat menuturkan, “saya yakin Presiden Jokowi tidak mengetahui secara utuh persoalan petani sawit mengapa Petani belum siap mengikuti rencana Perpres ini”.
Untuk itu, APKASINDO telah mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi, DPR RI dan Dewan Pembina DPP Apkasindo, yang diketuai oleh Jend TNI (Purn) Dr. Moeldoko, S.IP, yang isinya duduk persoalan mengapa Petani Sawit Indonesia belum siap ISPO.
“Mudah-mudahan ketika Bapak Presiden Jokowi sudah membaca surat DPP APKASINDO yang berisikan permohonan keterwakilan dari 22 Provinsi DPW APKASINDO dan 116 DPD APKASINDO tingkat Kabupaten Kota Penghasil Sawit Rakyat, akan memberikan solusi terbaik untuk petani sawit,” harapnya.