Sertifikasi berkelanjutan untuk produk dari komoditas kelapa sawit di pasar global menjadi instrumen penting. Untuk itu, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) terus berupaya meningkatkan produksi minyak sawit bersertifikat dan lahan bersertifikat.
Data dari RSPO menunjukkan 19% produksi minyak sawit global bersertifikat berkelanjutan (Certified Sustainable palm oil-CSPO). Sementara, dari 13,93 juta ton CSPO produksi global, Indonesia yang memiliki 14 juta hektar lahan kelapa sawit hanya mampu menghasilkan 7,4 juta ton berasal dari 1,46 juta hektar lahan bersertifikat.
“Capaian itu masih sangat kecil, jauh dari produksi minyak sawit Indonesia yang mencapai 41 juta ton,” Hal itu, diutarakan Tiur Rumondang Direktur RSPO Indonesia, di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, akhir Juli lalu.
Untuk itu, RSPO terus berupaya melakukan terobosan guna mempercepat proses sertifikasi dan perluasan lahan bersertifikat dengan pendekatan yurisdiksi, yang diawali sejak 4 tahun lalu. Pendekatan Yurisdiksi merupakan wilayah administrasi yang dipimpin oleh otoritas yang dapat mengeluarkan aturan yang mengikat seluruh pihak yang ada di dalam wilayah administrasi tersebut. Sehingga yurisdiksi dapat disebut sebagai wilayah adminitrasi pemerintah, misalnya kabupaten atau provinsi.
Menurut Tiur, pendekatan Yurisdiksi dalam konteks sertifikasi RSPO yaitu sebagai upaya untuk mensertifikasi suatu yurisdiksi atau wilayah administrasi pemerintah sehingga semua produk kelapa sawit yang dihasilkan dari wilayah tersebut sudah sesuai dengan prinsip dan kriteria RSPO.
“Sertifikasi akan dilakukan dengan menilai suatu entitas yang mengelola yurisdiksi terhadap standar RSPO. Entitas Yurisdiksi digambarkan sebagai suatu badan yang dapat dianggap bertanggung jawab secara sah atas kegiatan kegiatannya. Entitas Yurisdiksi mendukung produsen yang berada dalam batas wilayahnya untuk patuh terhadap prinsip dan kriteria RSPO dalam konteks hukum setempat,” tambahnya.
Selain itu, sertifikasi berkelanjutan berbasis wilayah akan menyatukan semua pemangku kepentingan di wilayah tersebut, yakni perusahaan perkebunan, baik anggota RSPO maupun bukan anggota, kelompok petani swadaya, pemda beserta instansi terkaitnya seperti Dinas Perkebunan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, lembaga swadaya masyarakat, juga pembeli.
“Sertifikasi diperlukan untuk mempercepat proses sertifikasi wilayah administrasi sebagai produsen sawit yang telah menerapkan praktek-praktek keberlanjutan dan diharapkan meningkat. Selain itu, Mengatasi persoalan lingkungan dan sosial terkait dengan produksi komoditas kelapa sawit yang tidak bisa diatasi oleh petani dan perusahaan perkebunan kelapa sawit seperti isu deforestasi dan konflik sosial yang sering terjadi di luar batas kebun,” jelas Tiur.
Untuk memudahkan komunikasi dengan stakeholder dalam proses pendekatan yurisdiksi pihak RSPO melakukan langkah-langkah di antaranya : mengadakan dialog multipihak untuk menyetujui target kinerja capaian spesifik untuk mencapai komitmen-komitmen berkelanjutan, membangun sistem tata kelola untuk mengimplementasikan rencana aksi untuk mencapai target kinerja yang telah disepakati, mengembangkan dan menerapkan sistem pemantauan yang andal dan transparan untuk melacak kemajuan menuju capaian yang diharapkan, serta merancang dan memfasilitasi sistem insentif untuk pelaku bisnis, petani dan pemerintah daerah dengan tujuan mendorong transisi yurisdiksi menuju ke arah berkelanjutan.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 94, 15 Agustus – 15 September 2019)