Pakistan menempati importir sawit ketiga di dunia, setelah India dan Tiongkok. Pada 2018, nilai impor sawit Pakistan mencapai US$ 1,9 miliar. Indonesia menguasai pangsa pasar sawit Pakistan sekitar 80%. Lobi harus diperkuat.
Indonesia dan Malaysia berebut pengaruh di Pakistan. Negara beribukota Islamabad ini diperkirakan mengimpor sawit sebesar US $ 1,93 miliar pada 2018. Nilai sebesar ini sangatlah menggiurkan kalangan eksportir sawit. Merujuk data Worldtopexport.com, ada tiga negara eksportir sawit ke Pakistan yaitu Indonesia sebesar US$ 1,5 miliar (naik 3,5% dari 2014), Malaysia US$ 480 juta (turun -10,8%), dan Uni Emirat Arab US$ 16.000 (tidak ada data 2014)
Terbang dari Jakarta ke Karachi, rombongan pengurus GAPKI dan pejabat kementerian terkait menghadiri PEOC (Pakistan Edible Oil Conference) 2020. Acara tahunan ini menjadi upaya lobi dan diplomasi Indonesia untuk menjaga pasar sawit di negara ini.
Wakil Ketua Umum GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) Togar Sitanggang mengatakan Indonesia masih menguasai 80 persen pasokan minyak sawit di negara Asia Selatan tersebut. Sisanya dari Malaysia. Namun Togar melihat Malaysia tampak sangat agresif untuk meningkatkan pasar minyak sawitnya di Pakistan. Misalnya dalam PEOC 2020, Menteri urusan Industri Primer Teresa Kok langsung datang ke Karachi dan memberikan keynote speech dalam acara tersebut.
Pendekatan agresif Malaysia ke Pakistan terus digencarkan. Setelah India mengambil sikap untuk menolak pembelian sawit dari Negeri Jiran. Dalam kesempatan tersebut, Malaysia kini fokus memperluas perdagangan minyak sawitnya dengan Pakistan, menyusul keputusan baru yang diberlakukan pemerintah India terkait kendali impor minyak kelapa sawit.
“Pakistan merupakan salah satu pembeli minyak dan produk kelapa sawit lokal yang paling menjadi andalan Malaysia,” kata Menteri Industri Primer Malaysia Teresa Kok,saat bertemu Penasihat Pakistan untuk Perdagangan, Tekstil, Industri, Produksi dan Investasi, Abdul Razak Dawood di sela-sela PEOC 2020.
Menteri Teresa menyebutkan permintaan minyak kelapa sawit di Pakistan telah meningkat pada tingkat 4,5% setiap tahun selama tujuh tahun terakhir. Tingginya permintaan karena pertumbuhan populasi, pendapatan yang lebih tinggi dan peningkatan pengeluaran konsumen.
“Minyak kelapa sawit memiliki potensi untuk penyerapan yang lebih tinggi di pasar Pakistan karena produksi minyak dan lemak lokal negara itu hanya mencakup sekitar 20% dari total kebutuhan konsumsi,” katanya.
Jadi, Pakistan sangat bergantung pada impor produk untuk memenuhi permintaan domestik yang terus meningkat. Menyoroti pentingnya Pakistan sebagai pengguna akhir minyak sawit Malaysia, Teresa menyebut negara itu sebagai pembeli produk yang paling reguler dan dapat diandalkan.
Menteri menunjukkan bahwa Pakistan adalah salah satu tujuan ekspor pertama di mana Malaysia memiliki investasi besar di bidang instalasi dan kilang di samping memiliki dermaga kargo cair yang didedikasikan untuk menangani minyak sawit. Perusahaan-perusahaan Malaysia seperti FGV Holdings Berhad, Kuala Lumpur Kepong Berhad dan IOI Group telah melakukan investasi yang signifikan di Pakistan melalui usaha patungan dengan Westbury Group sejak 1993.
Minyak kelapa sawit banyak digunakan oleh industri untuk pembuatan vanaspati (ghee). Di sisi lain, ini juga digunakan oleh industri makanan di Pakistan untuk menggoreng. Dia senang mengetahui bahwa Perdana Menteri Imran Khan akan mengunjungi Malaysia segera.
Menteri bergabung dalam acara tersebut oleh Penasihat Perdana Menteri Perdagangan, Abdul Razak Dawood. Kedua pemimpin mengambil kesempatan dialog bilateral untuk mengeksplorasi berbagai isu yang menjadi kepentingan bersama bagi kedua negara. Mengulangi hubungan bilateral baik yang ramah, kedua belah pihak menekankan perlunya untuk lebih meningkatkan perdagangan dua arah.
Menteri Teresa Kok mengemukakan masalah bahwa papan serat kepadatan menengah (MDF) yang diimpor ke Pakistan dari Sri Lanka menikmati bea masuk yang lebih rendah sedangkan MDF Malaysia yang berkualitas lebih tinggi dikenakan tarif impor yang lebih tinggi.
(Selengkapnya dapat di baca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 99)