Penulis: Dr. Gulat ME Manurung, MP.,C.IMA
Ketua Umum DPP APKASINDO
Merenung sejenak di sela-sela acara Pelepasan Magang ke 12 Provinsi Mahasiswa AKPY Program Beasiswa BPDPKS, telah menghasilkan tulisan kecil. Ya terbayang oleh ku masa depan anak-anak kami yang sedang semangat-semangatnya belajar di AKPY Yogyakarta, yang kelak akan menggantikan kami orang tuanya.
Saya mencoba mencatat beberapa indikator yang dapat dijadikan sebagai penyebab anjloknya harga TBS.
Pertama, belum berjalan normalnya ekspor CPO dan Turunannya, meskipun larangan ekspor sudah sejak 25 hari lalu dicabut.
Kedua, selalu gagal tendernya CPO di KPBN. Ketiga, besarnya beban dari CPO dan turunannya untuk tujuan ekspor.
Keempat, terkoreksinya harga CPO di bursa global. Kelima, regulasi terkait tata-kelola ekspor CPO dan turunannya.
Dalam struktur industri sawit dikenal dengan istilah hulu dan hilir. Di sektor hulu, perkebunan kelapa sawit diketahui 42% dari total luas perkebunan sawit di Indonesia dikelola oleh pekebun.
Sementara di sektor hilir merupakan proses pengolahan TBS menjadi CPO dan selanjutnya masuk ke refineri. Produk dari CPO dan Produk turunan dari CPO ini sebagian digunakan dalam negeri dan Sebagian lagi di ekspor. Titik kritis pasca larangan eksport dicabut adalah belum Kembali normalnya ekspor CPO dan turunannya.
Data per 17 Juni diketahui bahwa eksport baru berjalan sebesar 1.061.000 ton (CPO dan Berbagai Produk turunan CPO). Masih jauh dari stok CPO di dalam negeri pada dua bulan terakhir yang diperkirakan mencapai 9,6 juta ton. Pada saat sebelum larangan ekspor, diketahui tiap bulan produksi CPO Indonesia rerata 3,7 juta – 4 juta ton/bulan dan konsumsi domestik tiap bulannya 1,5 juta ton. Oleh karena itu, sebagaimana tahun lalu, ekspor yang ideal tiap bulan adalah 3 juta ton.
Tentu jika hanya 1.061.000 juta ton yang lolos ekspor (bulan Juni berjalan) akan semakin menambah stok dalam negeri karena TBS petani akan tetap dipanen dan PKS tetap menghasilkan CPO. Atau sebaliknya PKS berhenti beroperasi ?
Akibat dari struktur hulu yang mengecil ini mengakibatkan tanki timbun CPO semakin kritis, demikian juga dengan refineri.
Semakin mengecilnya ekspor segera diterjemahkan saat tender CPO di KPBN, sebagaimana terjadi pada dua bulan terakhir yang selalu berakhir WD (withdraw) . Tender CPO pada tanggal 17 Juni sedikit memberikan harapan karena ada beberapa perusahaan yang deal dengan harga CPO dengan Range Rp10.600-Rp10.800/kg. Tentu ini masih jauh dari harapan petani sawit.
Mari kita bedah beban dari CPO dalam negeri. Diketahui harga CPO Rotterdam tanggal 17 Juni adalah USD1500/ton. Beban pertama adalah USD65 yaitu biaya pengapalan dan biaya pengiriman via kapal, kedua adalah, Levy sebesar USD200, BK sebesar USD288, Flush Out (FO) USD200 sehingga totalnya menjadi USD753, yang artinya harga CPO Indonesia sebesar USD747 (Rp.11.150/kg CPO). Dari data ini dapat dikatakan bahwa biaya beban CPO Indonesia adalah 50% dari harga CPO Global (Rotterdam), cukup berat tentunya.
Perlu diketahui bahwa simulasi dari BK, PE, dan Flush Out dirancang dengan patokan harga USD1.700/ton CPO. Jadi dengan terkoreksinya harga CPO Global menjadi USD1.500, seharusnya dengan sendirinya baik PE, BK dan FO juga harus ikut turun, sehingga harga CPO ditender KPBN akan terdongkrak. Apa hubungannya harga CPO KPB dengan harga TBS Petani ? Karena harga CPO hasil tender di KPBN adalah patokan pembelian CPO dari PKS-PKS oleh trader, patokan dari Disbun untuk mengestimasi harga TBS dan invoice penjualan CPO oleh PKS ini akan menjadi patokan utama dari Dinas Perkebunan Ketika menetapkan harga TBS petani sawit diseluruh provinsi sawit.
Jadi apapun upaya pemerintah untuk mendongkrak harga TBS Petani jika ekspor tidak lancar dan beban berat dari CPO tersebut, maka upaya tersebut akan terbentur dengan kondisi stok CPO di pabrik sawit dan refineri.
Berpegang kepada usulan Pak Luhut Panjaitan supaya harga TBS di atas Rp.3000/kg, maka APKASINDO mengusulkan supaya PE, BK, FO untuk sementara waktu diturunkan sampai batas ukuran harga TBS RP.3.000-3.500. Jika tujuan harga TBS diatas Rp.3.000, maka PE seharusnya saat ini berada pada angka USD200, BK USD150 dan FO dinolkan. Hanya dengan strategi “dobrak” inilah ekspor bisa lancar dan akhirnya harga TBS akan terdongkrak. Dan jika semua sudah berjakan normal, maka silahkan dievaluasi strategi dobrak tadi.
Mengutip kalimat “Urusan tetek-bengek migor seperti ini saja memerlukan waktu yang terlalu lama untuk penyelesaiannya,” ujar Surya di lokasi Rakernas, JCC Senayan, Jumat, 18 Juni 2022. Dan tetek bengek minyak goreng itu Dua minggu terakhir terkhusus Curah sudah cukup tersedia dan terjangkau sesuai HET ditengah masyarakat.
Saatnya pemerintah fokus memikirkan nasib 17 juta Petani sawit dan Pekerja Sawit Indonesia atau kami Petani Sawit memang sengaja di-phaseout oleh skenario ?