Dunia barat sangat tercengang dan miris melihat kemajuan pesat industri perkebunan kelapa sawit Indonesia yang cenderung meraksasa. Uni Eropa dan Amerika mempelopori kampanye negatif terhadap produk Crude Palm Oil (CPO) Indonesia sebagai produk yang tidak ramah lingkungan secara ilmiah dan sistematis yang didukung seluruh kekuatan politik, ekonomi dan sosial mereka. Puncak simbol dari ketercengangan dan kemirisan mereka tercermin dari penolakan terhadap produk CPO masuk Environmental Goods List (EGL) pada forum menteri APEC, 1-8 Oktober 2013, di Bali.
Namun demikian, pemerintah Indonesia sangat optimis bahwa forum menteri APEC 2014 di Cina, nantinya CPO dan karet dimasukkan sebagai EGL APEC apabila benar terjadi maka kebahagian masyarakat sawit betul-betul segera terwujud. Karena secara ekonomi pada 2015, industri sawit Indonesia mendapatkan keuntungan yang sangat bagus yang memperoleh fasilitas bea masuk sangat rendah maksimal 5%.
Supaya jangan terlalu percaya diri bahwa CPO masuk EGL APEC pada 2014, maka kita perlu mengukur suasana kebatinan negara-negara Uni Eropa dan Amerika tersebut dengan beberapa pertanyaan sederhana berikut: Sudahkah pemerintah Indonesia mengajukan bantahan ilmiah terhadap tuduhan mereka bahwa CPO adalah produk tidak ramah lingkungan? Jawabannya adalah sudah, melalui penjelasan bahwa CPO sangat berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), pengembangan pedesaan (rural development) dan pengurangan kemiskinan (poverty alleviation). Apa tanggapan mereka terhadap bantahan yang diberikan oleh Indonesia? Mereka hanya merespon positif, sekali lagi belum menerima CPO masuk dalam EGL APEC.
Apakah secara hakiki Indonesia sudah memberi bantahan terhadap akar tuduhan dan kampanye negatif terhadap CPO? Jawabannya adalah belum. Akar bantahan apa dari pemerintah Indonesia yang belum memuaskan mereka? Jawabannya adalah pemerintah Indonesia belum bisa menjawab masalah emisi lingkungan akibat alih fungsi lahan gambut (AFLG) yang bersandar pada tulisan Page dan Hooijer yang menyatakan bahwa alih fungsi lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit akan mengemisikan gas karbondioksida total sebesar 100 Mg CO2-eq ha-1 tahun-1(sampai 25 tahun), besaran CO2-eq adalah symbol bahwa gas lain seperti metana dan dinitrogen oksida dikonversi ke emisi gas karbon dioksida, sehingga setelah dijumlahkan secara total diekivalenkan dengan emisi karbon dioksida, 95 Mg CO2-eq ha-1 tahun-1( sampai 30 tahun) dan 86 Mg CO2-eq ha-1 tahun-1 (sampai 50 tahun).
Tulisan Page dan Hooijer ini digunakan oleh US EPA yaitu emisi lahan gambut sampai 30 tahun sebesar 95 Mg (sembilan puluh lima ton) CO2-eq ha-1 tahun-1 untuk menyatakan CPO tidak layak untuk dijadikan biodiesel. Berapa total lahan gambut Indonesia dan berapa emisi karbon dioksida ekivalen yang ditimbulkan? Jumlah total lahan gambut Indonesia adalah 20,8 juta ha, total emisi karbondioksida dihitung berdasarkan Hooijer dan Page dicantumkan pada Tabel 1. Tabel tersebut memuat perkiraan suasana hati kemirisan dan ketakutan masyarakat Uni Eropa dan Amerika, dengan melihat jumlah jumlah emisi gas karbon dioksida alih fungsi lahan gambut (AFLG) industri perkebunan sawit Indonesia yang berasal dari energi terbarukan (matahari) selama lima tahun lebih besar dengan emisi gas karbon dioksida yang ditimbulkan oleh seluruh negara Uni Eropa yang mayoritas menggunakan energi tak terbarukan (gas, minyak dan batubara) untuk menjalankan Industri, trasportasi, perumahan dll (Data Emisi th 2010 sebesar 3,6889 Gt CO2). Masyarakat Uni Eropa tahu, hanya dari perkebunan sawit di lahan gambut saja Indonesia mampu memproduksi pangan dan energI dengan energI gratis selama 50 tahun, energi gratis tersebut sekitar 65% dari seluruh kebutuhan energi masyarakat Uni Eropa yang harus mereka beli.
Pertanyaan terakhir walaupun masyarakat Uni Eropa dan Amerika Serikat tidak bisa menanam sawit, apakah ada skema yang mirip dengan skema politik dumping seperti terjadi pada komoditas kedelai dll terhadap komoditas CPO ini? Tentu saja ada untuk memproteksi industri lemak/minyak nabati mereka, agar bisa selamanya mampu menjual produk lemak/minyak nabati mereka lebih murah dari harga internasional. Dari analisis tadi dapat diambil kesimpulan bahwa melihat luasnya lahan gambut Indonesia dan sawit sangat cocok tumbuh di Indonesia, maka industri perkebunan sawit Indonesia dan produk CPO yang semakin meraksasa sangat mudah mendominasi pangan dan energi dunia yang akan mempengaruhi peta ekonomi dan politik dunia, merupakan fenomena yang memiriskan bagi masyarakat Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Untuk itu mau tidak mau, suka tidak suka kita harus masuk dalam ranah pikiran Page dan Hooijer yang merupakan representasi dari masyarakat Amerika Serikat dan masyarakat Ekonomi Eropa. Agar secara elok kita bisa menyadarkan mereka, bahwa sawit adalah sumber pangan dan energi yang berkelanjutan bagi dunia. Harus dicari strategi perlawanan ilmiah yang elok yaitu mencari konsep dan langkah terobosan baru asli karya anak-anak bangsa (selain lobi-lobi politik dan ekonomi) secara makro (lingkungan), secara mikro (molekuler) dan secara ekonomi yang berdasarkan jurnal ilmiah internasional terutama dari masyarakat ilmiah Amerika Serikat dan masyarakat ilmiah Uni Eropa itu sendiri untuk mengalahkan secara elok artikel kedua tokoh pengganjal industri sawit Indonesiayaitu Hooijer dan Page tersebut.
Bagaimana penyerapan karbon lebih besar dapat dilakukan oleh industri kelapa sawit di lahan gambut daripada hanya oleh lahan gambut itu sendiri (bukan melalui pembakaran lahan). Inilah akar permasalahan yang belum dipunyai oleh pemerintah, sehingga dalam usaha merealisasikan mimpi CPO masuk dalam EGL APEC seharusnya berdasarkan pada ketiga terobosan baru yang elok tersebut untuk melemahkan tulisan Hooijer dan Page ini.
Jurnal ilmiah yang membahas pengurangan bahkan untuk menghentikan emisi karbon dan nitrogen dari negara barat sudah sangat banyak, seperti studi biochar di berbagai negara maju. Terobosan konsep baru secara molekuler terhadap humus sejak ditemukan analisis kimia yang canggih sudah banyak dilakukan. Studi agronomi penggunaan biochar yang mampu membawa kenaikan panen juga sangat melimpah. Namun sampai sekarang usaha ilmuwan dunia untuk membuat humus sintetis stabil yang usianya bisa mencapai ribuan tahun sehingga mampu memutus siklus karbon (menghentikan emisi CO2 dan metana) dan nitrogen (N2O) ke atmosfer untuk menaikkan kapasitas pangan dunia belum berhasil. Mineralisasi humus lebih cepat dari pada proses humifikasi.
Salah satu contoh kasus yang bisa dijadikan acuan adalah konsep pupuk SROP (Slow Release Organic Paramagnetic) yang dikembangkan di Jurusan Kimia FMIPA UGM dijiwai dengan konsep tersebut diatas, yang ditujukan untuk mengatasi politik dumping dari negara maju terhadap komoditas pertanian seperti beras, kentang, dan tebu. Modeling penghentian siklus karbon dan nitrogen dapat dilakukan. Humifikasi secara kimia melalui analisis molekuler menghasilkan bahwa pupuk SROP mengandung sekitar 80% humus sintetis. Studi ekonomi menunjukkan applikasi pada tanaman padi di tanah inceptisol di daerah bencana Merapi Yogyakarta dan kentang di daerah Batur, Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah menghasilkan panen dua kali lipat dari rata-rata panen padi dan kentang nasional, sehingga BEP per kilogram padi dan kentang lokal jauh di bawah harga beras dan kentang impor.
Penulis berkeyakinan konsep Pupuk SROP akan cocok untuk melawan Hooijer dan Page dan mampu diterapkan di industri perkebunan kelapa sawit yaitu secara ekologi dilakukan dengan jalan memutus siklus emisi karbon dan nitrogen dengan jalan pirolisis/Hidrothermal carbonization limbah biomassa (seperti Tandan Buah kosong, pelepah dll diubah menjadi biochar). Melakukan pemutusan siklus emisi karbon dan nitrogen limbah lain dengan cara melakukan humifikasi secara kimia terhadap POME dan bungkil untuk fiksasi nitrogen dan unsur hara lainnya, karena humifikasi secara pengomposan tidak akan menghentikan emisi Nitrogen dan karbon. Secara molekukler harapan untuk menaikkan kadar C-organik tanah, menaikkan panen biomassa termasuk panen sawit, pengurangan penggunaan pupuk kimia (urea, Phospat, kalium, dan mikronutren) dan pencegahan mineralisasi gambut akan diperoleh. (*)
Oleh : Agus Kuncaka, Pegiat Kedaulatan Pangan Indonesia, Dosen Jurusan Kimia, FMIPA UGM