JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Setelah pungutan ekspor sawit dicabut sementara, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mengusulkan sejumlah langkah strategis untuk mempercepat ekspor sawit. Pasalnya, Indonesia sedang berpacu dengan waktu agar investasi sawit terselamatkan baik di pengusaha dan petani. Apa saja langkah-langkah tersebut?
Dr Gulat ME Manurung MP, C.IMA, Ketua Umum DPP APKASINDO, menjelaskan bahwa dalam dua minggu terakhir ini harga CPO di pasar dunia cenderung turun ini berarti memperkuat argumen supaya kebijakan Domestic Market Obligation, Domestic Price Obligation, dan Flush Out segera dievaluasi. Karena filosofi DMO memastikan ketersedian bahan baku Minyak Goreng Sawit (MGS) di dalam negeri. Selanjutnya ditetapkan pula harga pembelian untuk bahan baku MGS atau Domestic Price Obligation sebesar Rp10.700/kg CPO. Padahal sekarang ini harga CPO domestik katakan dari tender CPO KPBN sudah di angka Rp8.000/kg.
“Begitupula stok CPO Indonesia saat ini sangat berlimpah faktanya tangki timbun CPO di 1.118 PKS se-Indonesia sudah level merah. Ini aneh saja tetap membebankan DMO dan DPO sawit,” ujar Gulat.
Per awal Juli, stok CPO Indonesia diperkirakan 12,4 juta ton, katakan konsumsi per Juli rerata 1,5 juta ton, berarti ada stok yang sangat berlimpah sebesar 10,9 juta ton. Normalnya stok dalam negeri 3-4 juta ton/bulan, berarti sudah 300% diatas normal.
“Jadi seharusnya regulasi DMO dan DPO harus segera dicabut, karena faktanya DMO dan DPO ini selalu masuk dalam faktor pengurang saat tender seperti di KPBN,” tegas Gulat.
Solusi dalam kondisi melimpah adalah tingkatkan konsumsi dalam negeri dengan meningkatkan mandatori B30 ke B35 atau B40. Dapat pula relaksasi semua regulasi yang memperlambat laju ekspor.
Gulat mengatakan Regulasi yang sempat dibuat sejak April-Juni (termasuk DMO DPO dan FO) tentang tata kelola industri sawit sudah tidak relevan lagi saat ini, jauh sekali perbedaannya. Dianaogikan Gulat bahwa kondisi April sampai Juni lalu jalan berlumpur sehingga kita perlu menggunakan mobil 4×4 dengan mengaktifkan 4WD (double gardan), “biar lambat asal selamat”.
Tetapi sekarang ini, kata Gulat, jalannya sudah tidak berlumpur karena MGS Rakyat sudah terkendali) atau sudah masuk ke aspal, lalu kenapa kita tetap menggunakan 4WD? Akibatnya lambatlah kecepatan mobilnya. Seperti itulah kira-kira analogi saya. Saat ini kita harus percepatan ekspor dan peningkatan konsumsi domestik, maka cukup dengan mobil 4×2. Bila perlu gak usah pakai gigi 123, langsung ke gigi 4 dan 5 saja.
“Sekali lagi saya sampaikan, bahwa Indonesia berpacu dengan waktu. Apalagi bulan Agustus sampai Desember diperkirakan akan terjadi panen tinggi TBS. Terlambat ambil keputusan “ganti mobil” bisa berakibat fatal secara nasional. Investasi 6,72 juta ha petani sawit akan berguguran massal. Kami level petani saja bisa berhitung dengan sedikit cermat,” pungkas Gulat.