Pengelolaan kebun yang baik sangat ditentukan bagaimana manajemen dan sumber daya manusia. Dari astpek SDM, sudah semestinya pekerja aktif masuk keluar blok perkebunan supaya tahu perkembangan tanaman dari hari ke hari.
Sementara itu, pengelolaan kebun yang baik dapat berpijak kepada 3C yaitu Crops, Cost, dan Condition Field. Falsafah inilah yang dijalankan Parluhutan Sitohang yang biasa dipanggil oleh teman-temannya Luhut Sitohang, ketika dipercaya mengelola sebuah perkebunan sawit. Qayuum Amri, Yasin Permana, dan Iman Saputra berkesempatan bertemu dengan beliau yang sedang menyelesaikan Program Studi Magister Agribisnis di Fakultas Pertanian Universitas Riau. Berikut petikan wawancaranya:
Perkebunan yang memiliki produktivitas tinggi merupakan keinginan semua pelaku usaha. Dalam pandangan bapak, faktor apa saja yang menopang produktivitas CPO dapat tinggi?
Faktor paling utama adalah masalah genetik yang berarti itu berasal dari sumber tanaman atau bibit. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi adalah input yang diberikan kepada tanaman seperti ketercukupan hara, pemeliharaan, dan manajemen pengelolaan. Di luar itu, perkebunan sawit di Indonesia memperoleh berkah berupa lahan subur, curah hujan dan intensitas penyinaran matahari yang optimal. Sebenarnya untuk faktor genetik dan agroklimat sudah cukup baik, sehingga tinggal faktor pengelolaan kebun yang bisa kita kendalikan. Oleh karena itu, input yang diberikan sangat penting untuk memenuhi standar pengelolaan.
Selain dari itu, yang perlu diperhatikan adalah losses yang dapat terjadi akibat tidak maksimalnya kegiatan perawatan dan pemanenan. Jika diperhatikan, losses ini dapat disebabkan pula oleh kegiatan yang berada dalam kendali perusahaan (controlable) seperti manajemen panen kurang baik, hambatan transportasi panen, dan kurangnya tenaga pemanen. Lalu, adapula faktor yang tidak dapat dikendalikan (uncontrolable) misalkan kondisi permasalahan sosial dan pencurian TBS yang menyebabkan rendahnya produktivitas.
Sudah berapa lama bapak berkarier di perkebunan sawit?
Sudah lebih dari 20 tahun, awalnya saya menjadi asisten di PT Sinarmas Inti Perkasa pada 1987 sampai tahun 1990. Setelah itu bergabung dengan Salim Plantation pada 1991 hingga 2012. Karir saya bermula dari Assisten Divisi (Afdeling) berlanjut menjadi Assiten Kepala, Manager, General Manager, sampai Vice President Agronomi di PT. Salim Ivomas Pratama. Barulah pada 2012, saya bergabung dengan Sampoerna Agro sebagai Managing Director Region Sumatera.
Dari pengalaman bapak tadi, apakah bapak mempunyai prinsip yang dipegang untuk meningkatkan produktivitas perkebunan sawit?
Saya menerapkan prinsip 3 C yaitu produksi (crops), biaya (cost), dan kondisi lapangan (condition field). Prinsip ini sudah saya terapkan sejak awal mulai bekerja di dunia perkebunan. Prinsip 3 C (Triple C) mengandung makna; Pertama, crops yakni produktivitas maksimal dari CPO dan PKO yang didapat melalui faktor genetik, pengelolaan yang baik sehingga dapat menekan losses produksi. Tujuan utama membangun usaha perkebunan kelapa sawit adalah untuk mendapatkan hasil berupa CPO dan PKO sehingga produksi CPO dan PKO ini diusahakan pencapaiannya semaksimal mungkin.
Cost berkaitan dengan manajemen dan menjalankan fungsi pengawasan baik, karena bisa saja produksi tinggi tetapi biaya mahal. Atau bisa juga biaya rendah tetapi produksinya tidak maksimal. Paling utama itu adalah biaya harus wajar dan efisien dengan tingkat produktivitas yang tinggi sehingga cost/unit menjadi rendah yang membuat daya saing perusahaan menjadi kuat.
Condition field berarti kondisi perkebunan harus bagus, seperti tadi saya katakan biaya rendah lalu kondisi kebun tidak bagus menunjukkan pengelolaan belum baik. Tetapi, kalau kondisi kebun baik namun biayanya sangat tinggi, hal ini pun kurang baik karena hal itu berarti tidak efisien. Paling baik adalah kondisi kebun bagus dengan biaya efisien.
Dari dulu, saya selalu berpegangan kepada falsafah 3C tadi. Sebab dapat dipergunakan untuk menjadi parameter performa perusahan yang kita kelola apakah baik atau tidak. Nah, dapat pula kita bandingkan dengan yield perusahaan lain supaya tahu kinerja perusahaan kita. Kalau perusahaan lain lebih tinggi, semestinya dapat kita tingkatkan performa perkebunan kita supaya lebih bagus. Butuh waktu dan ujicoba terus menerus dalam proses menerapkan falsafah ini.
Falsafah 3C ini sangatlah bagus sebagai standar pencapaian produksi maupun yield. Namun, seperti apa implementasinya bagi pekerja kebun di lapangan?
Nah supaya prinsip ini dapat berjalan, saya meminta pekerja supaya Go to Block. Ini artinya pekerja masuk ke dalam blok perkebunan untuk mengetahui dan memastikan apakah pekerjaan sudah benar dan telah dilaksanakan dengan baik, misalkan saja panen apakah sudah dilakukan dengan benar sehingga tidak ada losses (buah matang tidak terpanen)
Biar lebih mudah diingat, kalau diucapkan cepat akan terdengar menjadi Goblog. Biasanya, dalam kunjungan akan saya tanya; “apakah sudah dilakukan Goblog?”. Dalam bahasa Jawa, kata ini bermakna “kurang pintar” atau tidak tahu. Itu merupakan kalimat kiasan yang mudah diingat sehingga melekat bagi setiap pekerja.
Dalam pandangan saya, kalau ingin mengerti dan tahu kebun maka pekerja itu harus mau Go to Block. Lewat metode ini, akan dapat dipastikan pengelolaan kebun benar- tercapai untuk memperoleh hasil panen (crops) yang maksimum, biaya (cost) rendah, dan kondisi kebun (condition field) bagus. Inilah tujuan dari Go to Block yang telah menjadi doktrin utama di perusahaan tempat saya bekerja dahulu dan saat ini.
Go to Block ini sebenarnya merupakan kewajiban bagi pekerja kebun. Dari pengamatan bapak, seperti apa kemauan pekerja untuk melakukannya setiap hari?
Pergi masuk ke dalam kebun atau Go to Block sebenarnya pekerjaan mudah yang jarang dilakukan. Prinsip ini semestinya mulai ditanamkan di tingkat pekerja mulai dari level bawah seperti supervisi (mandor lapangan), asisten, asisten kepala hingga ke manager,dan general manager (GM). Kalau berkunjung ke kebun, saya pasti ajak asisten maupun manager dan GM untuk masuk ke dalam kebun dan pabrik. Kalau mereka bingung dan tidak tahu kondisi di dalam blok sendiri, artinya mereka belum menerapkan Go to Block. Falsafah inilah yang akan saya terapkan dalam pengelolaan perkebunan sawit di Sampoerna Agro.
Selain masalah teknis pengelolaan kebun untuk optimalisasi peningkatan produksi. Dari pengalaman bapak faktor apa lagi yang mesti diperhatikan kalangan pekebun?
Pemupukan menjadi kegiatan paling penting dan prioritas bagi kelapa sawit karena tanaman ini memerlukan unsur hara yang tinggi. Oleh karena itu, sewaktu pemupukan berlangsung semestinya mulai dari asisten sampai manager mengikuti kegiatan ini untuk memastikan pupuk diberikan secara tepat. Apalagi, kontribusi pupuk terhadap biaya produksi dapat mencapai 50%-60% dalam setahun, jadi itu sangat mahal. Kedua, pupuk ini menunjang ketercukupan hara bagi pertumbuhan pohon sawit , sebaiknya pula pemupukan ini mesti tepat waktu, dosis dan cara.
Tak hanya pemupukan, perlu diperhatikan pula manajemen kanopi (pruning) yang memengaruhi produksi baik akibat tidak cukupnya jumlah pelepah daun yang ideal (48 – 56 pelepah/ pokok) sehingga produksi rendah atau jumlah daun yang sangat berlebihan akibat tidak up to date-nya pekerjaan pruning sehingga terjadi losses produksi akibat pelepah tua yang menyulitkan berlangsungnya proses panen yang mengakibatkan buah sawit membusuk. Perusahaan perkebunan harus pula memerhatikan akses jalan untuk kepentingan transportasi buah. Akses jalan yang kurang diperhatikan akan membuat pemupukan tidak optimal dan panen terganggu.
Dalam perkebunan sawit, sumber daya manusia paling menentukan pengelolaan manajemen perkebunan. Bagaimana upaya bapak dalam memperkuat kompentensi dan kemampuan pekerja?
Penguatan SDM dapat dimulai dari manajemen training dengan menanamkan prinsip planters profesional (sejati). Jadi saya berupaya mendorong para asisten untuk mempresentasikan hasil dan target apa saja yang telah dicapai ketika melakukan Go To Block. Kalau belum dapat terpenuhi, akan berupaya dicari tahu apa kendalanya. Dari situlah, dapat ditemukan solusi untuk mengatasi problem tersebut.
Sama halnya dengan manajer, secara berkala ada rapat dengan mereka untuk mempresentasikan kondisi dan hasil kebun dan pabriknya. Jika ada masalah, dapat dirumuskan solusi bersama sesuai dengan problem mereka. Tidak bisa, kita memberikan pemecahan masalah dan solusi secara umum melainkan harus spesifik berdasarkan kondisi kebun dan pabrik masing-masing.
Tadi Bapak mengatakan prinsip planters sejati sudah semestinya harus dimiliki pekerja kebun. Apa yang bapak maksud dengan planters sejati?
Planters sejati itu harus menerapkan nilai dan budaya planters yang menjunjung tinggi integritas, dan produktivitas. Selain itu, dirinya harus dapat menjadi contoh kepada bawahan atau orang lain sesuai dengan kaidah yang benar. Sebaliknya, planters yang tidak sejati itu dapat terlihat dari ketidakpeduliannya terhadap tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Pencapaian produktivitas inilah yang diharapkan dari planters sehingga bisamemberikan keuntungan kepada perusahaandan diri sendiri.
Di perkebunan, terdapat etika, budaya, dan nilai-nilai yang mungkin tidak dimiliki jenis usaha lain. Hierarki sangat jelas dan wajib diterapkan pekerja kebun untuk menghormati dan cepat merespon permintaan atasan/perusahaan. Pekerja kebun itu mesti bekerja tuntas artinya pekerjaan diselesaikan tanpa dibatasi jam kerja.
Kalau planters sejati, waktu kerjanya bukan hanya sebatas jam dinas atau mulai jam 06.30 pagi sampai jam 2 siang tetapi bekerja atas dasar kebutuhan dan segera selesai. Kalau memang, pekerjaan harus diselesaikan sampai jam 20.00 WIB, sebaiknya segera dituntaskan. Sikap tersebut wajib ditularkan kepada pekebun di perusahaan kami. Sehingga kedepan, karyawan akan bekerja efektif dan efisien serta bertanggung jawab.(Qayuum)