Penulis: Dr. Purwadi*
Kisruh bisnis sawit yang diawali terjadinya kelangkaan dan kenaikan migor berbasis sawit yang selanjutnya memicu kegaduhan pasar yang berdampak efek kartu domino dan pada akhirnya berdampak langsung kepada petani sawit, telah menjadi perhatian utama selama tiga minggu terakhir. Sebagai produsen terbesar sekaligus eksportir terbesar dan konsumen terbesar ternyata selama 4-5 bulan terakhir belum berhasil mengelola perdagangan sawit khususnya minyak goreng dan TBS sawit.
Bagaimanapun migor adalah bahan pangan masyarakat banyak, tentu harus bisa terjangkau oleh masyarakat. Namun produksi TBS menjadi hajat petani sawit yang juga sangat banyak. Tentunya kita perlu mencari solusi yang komprehensif untuk tantangan ini. Telaah banyak dilakukan, fakta, kajian, pemikiran atas dampak yang terjadi selama ini termasuk masukan untuk solusinya.
Pada kesempatan ini, saya ingin memberikan masukan sederhana, namun menyelesaikan secara komprehensif kisruh sawit selama 3 minggu terakhir. Melalui kajian dan pemikiran sebagai berikut:
Indonesia memiliki tantangan:
Menyediakan minyak goreng untuk masyarakat menengah kebawah dengan jumlah sesuai kebutuhan dan harga yang terjangkau. Dengan asumsi kebutuhan minyak goreng terjangkau itu, dalam bentuk minyak goreng curah, maka kebutuhan nya maksimal sekitar 3 juta KL/ tahun atau sekitar 250 ribu KL/bl, dan perkiraan harga ke-ekonomian masyarakat kebawah sebesar Rp. 14.000,-/KG.
Telah dilakukan beberapa kebijakan, menunjukkan belum efektif, dan karenanya pemerintah mengambil kebijakan “sapu jagad” melarang ekspor CPO, bahan baku migor dan migor dan lainnya, yang ternyata dampaknya beralih dari masyarakat ke petani sawit, bahkan ke perdagangan luar negeri.
Sebagian besar pemikiran, kajian, pendapat menunjukkan bahwa, kebijakan larangan ekspor ini dampaknya besar di dalam negeri, mulai dari turunnya harga TBS pekebun sawit rakyat, turunnya pendapatan pungutan ekspor, turunnya pendapatan dari pajak. Di luar negeri juga memicu peningkatan harga minyak nabati secara umum dan dari sawit khususnya, keluhan dan mangarah ke protes oleh negara-negara menengah-miskin yang menggantungkan minyak nabati berbasis sawit dari Indonesia.
Indonesia memiliki peluang:
Krisis suplai minyak nabati dunia yang memicu harga minyak dunia termasuk sawit, dimana harga sawit saat ini adalah tertinggi sepanjang masa. Ini adalah “berkah” yang luar biasa, untuk meningkatkan pendapatan petani, pelaku usaha, pendapatan negara, walaupun berdampak sebalaiknya terhadap harga migor di dalam negeri.
Perkembangan di perdagangan minyak sawit di dunia ini juga menyadarkan kita, bahwa Indonesia produsen, eksportir yang berperan penting dalam pasar minyak nabati dunia.
Pada 2022 ini, diprediksi produksi minyak sawit Indonesia akan meningkat 5%-10 %, karena kondisi iklim khususnya curah hujan yang banyak sepanjang tahun pada 2 tahun terakhir. Ini adalah “anugrah Tuhan” yang dapat menjadi berkah untuk Indonesia.
Mulai April produksi tanaman sawit mulai naik dan akan terus menaik pada bulan-bulan selanjutnya, sekali lagi atas “anugrah Tuhan” berupa iklim yang baik. Artinya, produksi di kebun-kebun dan perkebunan sawit akan mulai melimpah-ruah, dan ini perlu mendapat saluran pasar yang lancar.
Untuk mencari solusi dari tujuan kebijakan untuk menyediakan minyak goreng sesuai kebutuhan dengan harga terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah saya usulkan sebagai berikut:
Kebutuhan migor curah untuk masyarakat menengah-rendah sebesar 3 juta KL/tahun pasti dan harus dapat dipenuhi. Ini hanya sekitar 6 % dari produksi nasional.
Untuk menyediakan dengan harga ke-ekonomian masyarakat ini menggunakan mekanisme kebijakan subsidi seperti halnya subsidi energi terbarukan untuk biodiesel. Pemerintah memberikan subsidi dari selisih harga ke-ekonomian pasar dikurangi harga ke-ekonomian masyarakat tertentu.
Pembiayaan subsidi ditugaskan kepada BPDP-KS sebagai lembaga yang menampung pungutan ekspor, dengan format yang sama seperti subsidi untuk biodisel. Biaya subsidi ini sangat bisa dibiayai dari dana pungutan ekspor.
Subsidi ini dilakukan sepanjang tahun, fleksibel mengikuti perkembangan harga di pasar global dan tujuan dan target harga ke-ekonomian masyaraka tertentu.
Pemerintah menugaskan salah satu BUMN, barangkali Bulog untuk mendistribusikan dan dapat bekerjasama dengan jasa perdagangan retail. Pemeirntah bisa mengatur berapa harga produksi, berapa jasa distribusi Bulog, berapa margin retail. Untuk kelancaran dan pertanggungjawaban bisa dibangun sistem berbasis digital khusus untuk ini, yang dapat memastikan bahwa produk dinikmati oleh yang berhak.
Agar memiliki ke-khasan, maka produk yang dijual adalah kemasan sederhana dengan “label khusus”, misal di kemasan plastik dan diberikan tulisan “produk bersubsidi hanya untuk konsumen tertentu”. Jadi tidak lagi menyalurkan minyak goreng curah untuk mengurangi kemungkinan penyalahgunaan. Model kemasan khusus ini, sebenarnya mirip kemasan penyaluran gas bersubsidi “gas melon” tiga kilogram warna hijau muda”.
Jika pemikiran ini dapat di implementasikan dengan lancar dan bersih, penyediaan migor dalam jumlah yang sesuai kebutuhan dengan harga terjangkau untuk masyarakat berpendapatan menengah kebawah dapat diselesaikan.
Pembenahan tata kelola secara komprehensif sistem rantai pasok sawit berkeadilan dibutuhkan untuk membangun keberlanjutan bisnis dan industri sawit, namun penyelesian cepat masalah kisruh migor diharapkan dapat menjadi solusi awal.
Dengan bisa diselesaikannya tantangan untuk penyediaan migor bagi masyarakat berpendapatan menengah kebawah, maka kebijakan larangan ekspor dapat ditinjau lagi dan pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan baru yang dapat membangun eksosistem bisnis yang menyejukkan. Amin.
*Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit INSTIPER