Pemerintah diminta mengakomodir aspirasi perusahaan kelapa sawit skala kecil menengah untuk mendapatkan akses lahan. Hal ini dibutuhkan guna mengembangkan kekuatan industri sawit yang berbasis kepada modal dalam negeri. Di lapangan, kenyataan yang terjadi kalangan pengusaha sawit kecil menengah kalah bersaing mencari lahan dengan perusahaan bermodal besar dan perusahaan dari luar negeri.
Sjakdin Darminta, Komisaris PT Tasma Puja yang telah malang melintang selama 40 tahun di dunia perkebunan berdiskusi dengan tim redaksi SAWIT INDONESIA di kantor yang berlokasi di daerah Fatmawati, Jakarta Selatan, berikut ini petikan wawancaranya:
Bagaimana pandangan Bapak melihat sektor perkebunan di Indonesia terutama kelapa sawit?
Aslinya komoditi perkebunan banyak sekali itu warisan zaman belanda mulai dari kopi teh, sisal,karet, dan tebu. Diantara semua itu, banyak komoditi yang menyusut karena makin tingginya biaya produksi dan persaingan. Sebagai contoh, komoditi coklat dan kopi itu tidak dapat berproduksi dengan baik di semua daerah, padat tenaga buruh terutama di musim panen. Tanaman kopi arabika cocok di dataran tinggi dengan lingkungan hutan dan harganya bagus. Kendati demikian, perkebunan kopi lebih cocok dikerjakan rakyat karena sebenarnya bisnis perkebunan kopi itu kurang menguntungkan untuk perkebunan besar.
Tantangan yang dihadapi itu adalah produktivitas rendah dan biaya tinggi. Hingga sekarang masih ada dua komoditas yang tetap dapat bertahan untuk skala perkebunan besar yaitu kelapa sawit dan karet. Produk olahan sawit itu antara lain ke dalam food seperti minyak goreng, margarin dan sekarang mulai dipergunakan industri biofuel.
Di masa depan, potensi penggunaan CPO akan lebih mengarah kepada biofuel. Dalam pandangan Bapak sejauh mana potensi ini dapat dikelola?
Biofuel itu sekarang bergantung kepada kebijakan pemerintah. Kalau sekarang ini biofuel itu dijadikan mandatori sebesar 10% lalu ditingkatkan menjadi 20%, maka pemakaian CPO dalam negeri akan meningkat. Untuk kebaikan dampak lingkungan sudah pasti lebih baik memakai biofuel dibandingkan impor solar. Hanya saja solar itu masih subsidi apakah pemerintah bersedia menggunakan subsidi solar impor untuk dialihkan kepada biofuel.
CPO punya pasar luas di bidang makanan, bidang industri, dan energi. Jadi tidak salah kalau dikatakan kelapa sawit itu prospek bagus dan saya tambahkan itu semua karena karunia Allah diberikan kepada kita, punya alam yang cocok untuk sawit. Hasil kedelai di daerah subtropis lebih tinggi daripada kedelai di Indonesia. Tetapi sebaliknya di Indonesia, produktivitas CPO yang tinggi. Suatu rahmat bahwa kita punya alam yang mendukung tumbuh bagusnya di kelapa sawit.
Pertanyaannya bagaimana kita memanfaatkannya? Memang sudah dimanfaatkan tetapi kenapa tidak berpikir dimanfaatkan dengan cara yang berkeadilan daam arti kesempatan berusaha yang adil dalam bisnis kelapa sawit. Sekarang ini diperkirakan luas hutan Indonesia 150 juta hektare dan lahan sawit kita baru 9 juta hektare. Artinya potensi masih ada dan sekarang bagaimana kue nasional bernama sawit itu bisa tersebar secara adil kepada pengusaha kecil menengah, dan petani.
Maksudnya adil seperti apa pak?
Sekarang ini perkebunan besar kelapa sawit itu adalah perkebunan rakyat 35%, PTPN sebesar 10% dan swasta 55%. Perkebunan rakyat itu yang dimiliki 35% mempunyai kelemahan mendasar yaitu produktivitas rendah. Tanpa kebijakan yang tepat, petani kelapa sawit akan tetap berpenghasilkan rendah dibandingkan swasta dan PTPN.
Kekuatan industri sawit itu terdiri dari tiga pilar besar yaitu kelompok BUMN, swasta, dan petani sawit.
Segala aspek yang berkaitan dengan bisnis kelapa sawit nasional yang dominan terdengar adalah kelompok perusahaan besar ini karena memiliki teknologi, modal, dan akses.
Jika isu politik yang berkaitan dengan sawit memanas, maka yang diangkat dan digadang-gadang adalah isu kerakyatan, petani sawit menjadi sangat kuat disuarakan. Sementara,kelompok usaha kecil dan menengah hampir-hampir tidak terdengar eksistensinya, padahal kelompok kecil menengah ini adalah bagian penting dalam industri sawit nasional.
Dalam bisnis kebun sawit digolongkan kecil untuk areal ratusan hektar, digolongkan menengah untuk areal sampai 20.000 hektar dan biasanya memiliki pabrik sawit, digolongkan perusahaan besar dengan areal puluhan ribu hektar sampai ratusan ribu hektar yang bukan saja memiliki pabrik sawit tetapi juga mempunyai unit usaha sampai ke hilir.
Perusahaan besar dengan semua keunggulan yang mereka miliki dengan mudah dapat memperbesar usahanya. Peran pemerintah diharapkan mengatur agar kue nasional bernama komoditi sawit terbagi adil di atas bumi pertiwi tercinta milik kita bersama.
Tanpa campur tangan pemerintah, maka petani sawit, pengusaha kecil dan menengah kelapa sawit hanya berjalan di tempat. Kalah berpacu dalam mencari lahan dan mencari modal. Ujungnya petani kelapa sawit dan pengusaha kecil dan menengah sawit tetap menjadi orang pinggiran dalam dunia bisnis sawit di negeri sendiri.
Lalu, apa keinginan Bapak terhadap perusahan perkebunan sawit skala kecil menengah ini?
Kami membentuk sebuah forum bernama Forum Pengusaha Kecil dan Menengah Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia (FPKM-KSI). Kami tidak minta dimanja atau dikasihani tapi kami minta dilihat keberadaan kami sebagai salah satu unsur persawitan nasional yang mempunyai hak untuk mendapat kesempatan berusaha secara adil.
Apakah aspirasi Bapak dan perusahaan kecil menengah tidak ditampung dalam asosiasi sawit seperti Gapki?
Seperti yang telah saya sampaikan bahwa kelompok pengusaha kelapa sawit kecil dan menengah mempunyai kelemahan-kelemahan tertentu dibandingkan dengan kelompok besar pengusaha kelapa sawit, walaupun semuanya terhimpun di dalam Gapki. Tidak ada yang salah dengan Gapki sebagai wadah pengusaha kelapa sawit Indonesia, namun kekhususan kesulitan yang dihadapi oleh pengusaha kecil menengah perkebunan kelapa sawit perlu dicarikan jalan keluarnya.
Lalu seperti apa solusi yang dapat diberikan untuk masalah yang dihadapi pelaku sawit skala kecil menengah?
Dengan konsep Real Estate Plantation terhimpun 5 sampai 10 perusahaan kecil menengah perkebunan kelapa sawit yang mampu membangun puluhan ribu hektar kebun kelapa sawit terdiri dari kebun inti dan kebun plasma dengan manajemen yang baik dan tenaga SDM profesional. Sangan mampu membangun perkebunan kelapa sawit berstandar nasional. Jelas hal ini sangat baik dibandingkan dengan jika dimiliki hanya oleh satu pengusaha besar. Kemampuan pengusaha kecil menengah untuk berhimpun membangun perkebunan besar dari hulu ke hilir sangat bergantung kepada dukungan kemauan politik pemerintah daerah dan pusat. Artinya kemudahan memperoleh lahan perkebunan dan kemudahan memperoleh kredit investasi kebun inti dan plasma.
Jadi ini masalah lahan yang akan dijadikan kebun sawit itu sulit dicari. Seperti apa usaha Bapak untuk mencari kebun?
Sekali lagi masalah pengadaan lahan perkebunan kelapa sawit untuk Real Estate Plantation artinya kebun kelapa sawit yang dimiliki oleh banyak pengusaha kecil dan menengah, berikut plasma hanya mungkin jadi kenyataan jika pemerintah daerah kabupaten dan pemerintah pusat memberi dukungan penuh demi menumbuhkan peran pengusaha kecil menengah dan petani sawit dalam bisnis kelapa sawit di tanah air tercinta ini.
Sekarang ini, pelaku usaha dituntut untuk mematuhi aturan praktek budidaya sawit berkelanjutan. Bagaimana tanggapan bapak terhadap aturan ini?
ISPO dan RSPO itu adalah sebuah tuntutan zaman sehingga tidak ada kata tidak. Sudah menjadi kewajiban kita bahwa produk CPO yang dihasilkan di Indonesia dapat diterima dunia karena kita sangat peduli mengikuti dan akrab dengan ketentuan lingkungan dan sosial. Kita laksanakan CSR dan kita alokasikan lahan untuk petani plasma. Apabila masih ada perusahaan yang membangun kebun kelapa sawit untuk kelompoknya sendiri tanpa mematuhi standar praktek budidaya sawit berkelanjutan dan CSR. Itu artinya dia sudah ketinggalan zaman. Perkebunan kelapa sawit ribuan hektare pasti akan bersentuhan dengan masyarakat dan lingkungan setiap hari dan setiap waktu. Karena ISPO atau RSPO adalah keharusan. (Qayuum)