Sinarmas Agribusiness and Food menargetkan kemamputelusuran (traceability) rantai pasok mencapai 70% hingga akhir tahun ini. Upaya menjawab isu deforestasi dan lingkungan kepada perusahaan.
“Pembeli sawit sekarang ini tidak hanya bertanya kualitas. Mereka juga ingin tahu asal mula dan sumbernya, apakah dari deforestasi atau tidak,” kata Daniel A. Prakarsa, Commercial Sustainability Lead Sinar Mas Agribusiness and Food, dalam perbincangan bersama media pada pertengahan Juli 2018.
Untuk menjawab berbagai pertanyaan dari beragam pemangku kepentingan mulai pembeli, manufaktur, dan LSM, Sinarmas Agribusiness and Food telah memetakan kemamputelusuran rantai pasok sawit terhadap penyuplai minyak sawit mentah (crude palm oil /CPO) dan palm kernels (PK) semenjak 2015. Target Sinarmas mencapai 100% kemamputelusuran untuk seluruh pabrik sawit dan petani pada 2020.
Daniel menyebutkan perusahaan di akhir tahun 2017 kemarin telah mampu mencapai 100% TTP bagi seluruh 44 pabrik milik sendiri. Dengan demikian, 39% dari total rantai pasok perusahaan dapat ditelusuri. Melalui pencapaian ini berarti perusahaan bisa menjangkau lebih dari 70 pemasok yang membeli dari sekitar 11.000 petani swadaya yang mengelola sekitar 40.000 hektare perkebunan kelapa sawit.
“Setelah menyelesaikan TTP untuk pabrik milik kami sendiri di 2017, masih ada pekerjaan besar yang menanti untuk memetakan rantai pasok dari 427 pemasok independen lainnya, sebagai bagian dari upaya perusahaan untuk mencapai kemamputelusuran hingga ke perkebunan di 2020,” pungkas Daniel.
Menurut Daniel sistem traceability ini akan membantu perusahaan untuk mengenal lebih detil data penyalur baik pabrik dan petani sawit. Dari data yang diperoleh akan diketahui lebih detil sampai kepada tanaman. Setelah mendapatkan data ketelusuran di pabrik diperoleh data nama, koordinat, alamat, pemilik, nama, lokasi, kemudian kami ingin mengetahui sumber pasokan buah pabrik itu berasal.
Dalam pandangannya, lebih mudah untuk mendapatkan data traceability dari internal perusahaan. Tantangan berbeda akan dihadapi saat menelusuri pihak eksternal. Pasalnya tidak semua menerima keinginan perusahaan. “Adapula pabrik yang menolak penerapan sistem ini. Kalau menolak akan diputus kontraknya,” kata Daniel.
Bagi petani yang berada di kawasan hutan, perusahaan lebih memilih berkonsultasi dengan pemerintah daerah dan lembaga pemerintah. Menurut Daniel, apabila lahan petani berada di grey area maka perusahaan tidak langsung mengambil putusan. Tetapi memilih berkonsultasi dengan pemerintah.
Dengan memanfaatkan pengalaman GAR dalam melibatkan para petani serta bekerjasama dengan jejaring para mitra untuk mendukung mendukung pemasok independen melaksanakan proses penelusuran dan proses verifikasi, dan memberikan dasar untuk memastikan kepatuhan dengan GSEP, seperti dengan Koltiva, Geotraceability dan Neste diharapkan target 100% kemamputelusuran hingga ke perkebunan di 2020 dapat tercapai.
Chief Executive Officer (CEO) Koltiva Ainu Rofiq menjelaskan proses pemetaan ini tidak sebatas memberikan aplikasi melainkan surveni langung ke lapangan. Tim Koltiva bertemua langung petani dan mewawancarai mereka. Pihaknya membuat pemetaan kepada 200 ribu petani swadaya. Dimana targetnya, agen lapangan Koltiva diharapkan dapat bertemu dengan 5 petani setiap harinya.
“Proses kemamputelusuran memanfaatkan aplikasi di situs dan mobile berbasis android. Sistem ini bisa bekerja online maupun offline,” ujarnya.
Rofiq menjelaskan terdapat empat keunggulan pendataan dengan sistem Koltiva. Pertama, rantai distribusi bisa jadi lebih efisien. Kedua, transparansi dalam produksi dan distribusi.
Ketiga, sertifikasi sebagai isu umum bagi petani, sehingga, Koltiva bisa memberikan pendampingan untuk mendapatkan sertifikat keberlanjutan seperti Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Terakhir, peningkatan keuntungan dengan penghitungan anggaran yang lebih jelas.