Bahan gambun, yang komposisi kimianya banyak didominasi oleh bahan lignin (Sabiham, 1997), Setelah mengalami proses biodegradasi akan mengalami perubahan menjadi asam-asam organik berupa senyawa fenolat dan derivat asam organik lainnya. Dari komposisi kimia yang lain, yaitu dari selulosa dan hemiselulosa, setelah mengalami proses dekomposisi akan mengalami perubahan menjadi asam-asam organik berupa senyawa karbosilat. Hampir seluruh mekanisme kimiawi yang terjadi dalam bahan gambut adalah karena kehadiran asam-asam organik tersebut, yaitu yang berlangsung pada tampak reaktif gugus fungsional, terutama –COOH, di samping fungsional –OH-fenol dan –OH-alkohol.
Gugus fungsional tersebut sangat tidak stabil, tergantung pada keadaan reduksi-oksidasi (redok) dan pH tanah. Dalam suasana oksidatif, gugus fungsional tersebut akan mengalami proses oksidasi dan dekarboksilasi membentuk C=O quinon yang kurang atau bahkan tidak reaktifdalam fungsinya sebagai tanah. Akibatnya, reaksi pertukaran kataion menjadi tidak berjalan, bahkan kation dengan gugus fungsional ini terjadi karena gaya elektrostatik, reaksi khelat atau ikatan kompleks, dan koadsorpsi (Tan, 1993). Selain itu, karena bahan gambut umumnya berasal dari ikatan CHO, secara genetik kestabilan bahan gambutnya menjadi rendah karena mudah terdekomposisi membentuk CO2, CH4, dan H2O.
Berdasarkan uraian diatas, dapat di pahami bahwa karateristik atau sifat inheren bahan gambut sangat berbeda dengan bahan tanah mineral. Perbedaan ciri serta sifat antara bahan gambut dengan tanah mineral ini menimbulkan banyak konsekuensi, baik didalam tataran akademik maupun praktis. Selama ini pola pikir dalam memandang tanah gambut adalah sama dengan pola pikir tanah mineral. Hal ini dapat dilihat dari metode penyifatan (characterization) adalah sama bagi kedua jenis tanah tersebut. Misalnya, dalam penetapan ketersedian unsur hara digunakan metode yang sama. Akibatnya adalah hasil-hasil penetapan sifat-sifat gambut menjadi tidak realistis apa bila dibandingkan dengan kondisi di lapangan. Demikian pula dalam memendang tingkat kesetabilan bahan gambut tidak dapat diangap sebagai suatu yang sama seperti tanah mineral. Bahan gambut adalah bersifat meta stabil, sehingga mudah rusak karena proses dekomposisi. Hooijer et al (2006) menyatakan bahwa pengaturan tata air tanah (groundwater table) akan menyebabkan meningkatnya laju subsiden pada lahan gambut.
Kekeliruan dalam memandang ciri dan sifat gambut juga secara rill dapat terlihat di lapangan. Contoh, dalam men-desain pengembangan lahan gambut melalui penetatan saluran yang bertujuan mengeluarkan air lebih, telah dibuat saluran dengan ukuran besar. Yang terjadi dalam pengurasan air yang berlebihan disusul dengan berbagai kerusakan ekosistem yang catastrophic dan berkepanjangan. Seharusnya pemikiran dasar dalam membuat saluran adalah seberapa banayak air yang harus dipertahankan didalam gambut agar bahan gambut tidak rusak dan dapat menunjang pertumbuhan tanaman.
Sumber : Desain Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Mendukung Produktivitas Pertanian Berbasis Perkebunan, Prof. Dr. Supiandi Sabiham.