Kalangan petani keberatan apabila moratorium ijin baru benar-benar dijalankan. Aturan ini tidak akan menguntungkan petani yang ingin membuka lahan baru.
Setiyono, Ketua Asosiasi Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir) Riau mengatakan, bahwa gangguan usaha sawit juga berasal dari luar negeri, dengan makin marak kampanye hitam bahwa industri nasional menyebabkan kerusakan lingkungan dan berdampak buruk bagi kesehatan manusia.
“Sawit diisukan merusak kesehatan, merusak lingkungan, menyebabkan gajah dan orang utan mati. Mereka ributnya bukan main, apalagi ada pihak dalam yang memanfaatkan isu ini seperti antek-antek orang Eropa. Padahal yang dirugikan justru petani sendiri, isu tersebut menyebabkan permintaan sawit makin sepi,” ungkapnya.
Setiyono menilai pandangan tersebut tidak didukunga dasar yang kuat karena lahan yang ditanami kelapa sawit sebagian besar awalnya hamparan tidak produktif. Dalam penelitian para ahli, produk minyak nabati kelapa sawit jauh lebih unggul dibanding tanaman penghasil minyak nabati lain, seperti kedelai, bunga matahari, dan lainnya. Terlebih, tanaman kedelai, bunga matahari dan sebagainya umurnya hanya terhitung bulan dan tidak efektif secara ekonomi maupun hitungan masalah lingkungan.
Bahkan jika dibandingkan dengan minyak nabati lain, minyak sawit justru lebih aman karena 49 persen dari minyak sawit terdiri dari lemak jenuh yang lebih stabil untuk proses penggorengan. “Minyak sawit lebih baik dari minyak nabati lain dari segi kandungannya,” terangnya.
Dia juga menyesalkan peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan hidup kian memperburuk citra sawit nasional, dengan mendukung kampanye negatif yang digulirkan oleh sejumlah negara barat. Kampanye negatif berawal dari kebangkitan industri sawit nasional sebagai ancaman bagi eksistensi perekonomian negara-negara barat.
Bahasa moratorium telah digunakan pemerintah untuk menekan industri kelapa sawit. Kalau pada 2010, moratorium diberlakukan kepada lahan gambut. Alhasil,kata Setiyono, menyebabkan harga sawit langsung turun. Setiyono menyebutkan pemberlakuan moratorium ijin baru sawit akan berdampak kepada perkebunan rakyat.
“Kami merasakan juga akhir-akhir ini setelah Pak Jokowi mengeluarkan aturan moratorium mengenai perizinan nggak boleh menanam sawit lagi. Tetapi yang jelas harga sawit langsung turun. Inilah yang kami rasakan,” jelasnya.
Setiyono menyebutkan moratorium atau penundaan ijin baru untuk sementara ini lahir dari persaingan dagang antar produsen minyak nabati. Siapa yang diuntungkan dari moratorium? Setiyono berpendapat negara produsen minyak nabati dari Uni Eropa pastilah diuntungkan dari kebijakan ini. Pasalnya, sejumlah negara dan LSM dari benua Eropa aktif menyuarakan isu negatif sawit yang dikaitkan dengan masalah kesehatan, lingkungan, dan sosial.
Yang harus diperhatikan pemerintah apabila harga sawit turun berakibat buruk kepada perekonomian nasional pula. Menurut Setiyono, pasar ekonomi bergantung kepada komoditas sawit sebagaiman terjadi pada 2008 di saat harga sawit jatuh, petani pinjem uang buat beli tanah jadi macet karena nggak bisa bayar.
“Jadi, pemerintah sebaiknya harus memperhatikan perubahan yang akan terjadi dari kebijakan moratorium ini. Terutama dampaknya kepada petani kecil,” kata Setiyono.
Menurut Setiyono, pemerintah sebaiknya dapat mengawal kelapa sawit sebagai komoditas primadona dan menjadi industri yang sangat strategis untuk bangsa. Kuatnya kampanye negatif sawit dapat terlihat ketika satu orangutan atau gajah mati di perkebunan ributnya luar biasa. Tapi, kalau ada petani sulit mendapatkan penghasilan, tenagg-tenang saja.
Pada 2010, Setiyono berkesempatan datang ke Jerman lalu menceritakan kehidupan petani sawit. Dalam forum tersebut muncul pernyataan dari mahasiswa Indonesia yang belajar di sana lalu menjelek-jelekan sawit. “Ini sangat saya sesalkan pada waktu itu. Sesama bangsa Indonesia malah saling menjelek-jelekan,” tuturnya.
(Ulasan lebih lengkap baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Juli-15 Agustus 2016)