Peredaran minyak jelantah yang direkondsisi menjadi perhatian banyak pihak. Upaya penyelesaian diambil pemerintah melalui kewajiban minyak goreng kemasan pada 2022.
Untuk keperluan memasak, minyak jelantah akan mengalami proses oksidasi dan polimerisasi asam lemak berkomplikasi menghasilkan sifat toksis bagi sel tubuh yang dipicu oleh radikal bebas senyawa peroksida sehingga tidak direkomendasikan dan tidak layak digunakan. Secara umum minyak jelantah dihasilkan dari jenis minyak goreng kemasan, minyak goreng curah dan minyak bulki yang biasanya digunakan di industri noodle dan cookies.
Berkenaan dengan peraturan peredaran minyak jelantah, apakah pemerintah sudah memiliki aturannya? Secara eksplisit Regulasi yang mengatur minyakj elantah memang belum ada, tetapi secara implisit pemerintah sudah memiliki regulasi dan intrumen pengawasan pemenuhan standar ketertiban berniaga (barang dan jasa) yang dikonsumsi masyarakat.
Sesditjen Perlindungan Konsumen dan Tata Niaga Kementerian Perdagangan, Susi Herawati mengatakan pihaknya menerbitkan peraturan untuk perlindungan konsumen dan upaya pengawasan serta pemenuhan standar ketertiban berniaga.
“Tugas dan fungsinya yaitu menguji produk sesuai dengan standar (SNI). Sementara di satu sisi dan pengawasan produk. Terkait dengan regulasi minyak jelantah yang menjadi bagian yang dihasilkan dari minyak goreng,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam hybrid webinar bertemakan “Kupas Tuntas Regulasi Minyak Jelantah Dari Aspek Tata Niaga dan Kesehatan”, Rabu (23 Juni 2021).
Acara ini diselenggarakan oleh GIMNI dan Majalah Sawit Indonesia dengan dukungan penuh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS). Kegiatan dibuka oleh Dr. Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian RI. Adapun sambutan dari Eddy Abdurrachman, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dan Bernard Riedo, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).
Literatur mengenai minyak jelantah adalah minyak goreng yang telah digunakan berulang kali menurut beberapa ahli mengandung senyawa yang bersifat karsinogenik yang terjadi selama penggorengan dan memiliki dampak negatif bagi kesehatan.
Selanjutnya, Susi mengatakan pihaknya akan fokus atau konsen memaparkan regulasi yang mengatur pengawasan dan pemenuhan standar minyak goreng sebagai komoditas. Regulasi untuk melakukan intervensi dan pengawasan di lapangan untuk minyak goreng ada beberapa dasar hukum.
Pertama, UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan sebagaimana telah diubah dengan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bab III Paragraf 8 di Sektor Perdagangan. “Ini adalah acuan untuk menerbitkan peraturan turunan untuk pengawasan dan pemenuhan standar barang dan jasa,” kata Susi.
Kedua, UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. “Di dalam UU ini mengatur hak dan kewajiban konsumen dan hak dan kewajiban pelaku usaha. Berkenaaan dengan hak konsumen yaitu konsumen berhak untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam mengonsumsi barang dan jasa. Sementara, kewajiban pelaku usaha yaitu memperdagangkan barang dan jasa sesuai standar yang disyaratkan,” lanjut Susi.
Ketiga, Peraturan Presiden No 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No 59 Tahun 2020. “Minyak goreng masuk dalam peraturan ini. Cukup banyak produk yang ingin dimasukan kedalam peraturan ini, termasuk garam. Berulang kali diajukan peraturan ini tetapi belum bisa diakomodir. Sementara, minyak goreng dari awal terbitnya Perpres No 71 Tahun 2015. Artinya, pemerintah memberikan ruang untuk intervensi dalam hal ketersediaan dan stabilitas harga, termasuk intervensi dalam pengawasan produk, untuk memastikan produk sesuai dengan standar,” jelas Susi.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 117)