JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Usulan Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan yang meminta audit sumber dana LSM/NGO di Indonesia, langsung mendapatkan respon positif dari petani sawit se-Indonesia. Bukan tanpa sebab ide tersebut disetujui, selama ini petani terkena dampak kampanye negatif yang digaungkan NGO lokal dan internasional. Akibatnya, banyak lahan petani dituduh masuk kawasan hutan sehingga ime produk sawit Indonesia menjadi buruk di pasar global.
“Selama ini NGO-NGO merajalela dii Indonesia terkhusus NGO yang mengatasnamakan Lingkungan. Lihat saja betapa mudahnya mereka mendapatkan data-data terkait sawit Indonesia dan menjelek-jelekkan sawit hanya dari sudut pandang mereka saja,” ujar Andi kepada sawitindonesia.com melalui sambungan telepon dari Sulawesi Barat.
Andi memberikan contoh saat regulasi ISPO sedang dirancang dari sebelumnya peraturan Menteri Pertanian menjadi Peraturan Presiden yang disahkan pada 2020 lalu.
“Dari berbagai sumber dan bukan rahasia lagi bahwa konsultan yang merancang Draft Perpres ISPO dapat dana dari UK. Rasaku susah diterima akal sehat kok bisa selevel Perpres dijebol dengan menggunakan dana asing oleh konsultan tersebut. Berarti ada dua sumber dananya, pertama dari APBN dan kedua dari Dana Asing tersebut,” ujar Andi.
Andi menukil informasi dari website Palm Oil Monitor terbitan April 2019 disebutkan bahwa UK-AID memberikan hibah kepada” Yayasan Kehati”, organisasi pelestarian lingkungan hidup, sebesar Rp 22 miliar atau US$ 1,2 juta.
“Makanya saya dukung penuh statemen Pak LBP dan berharap bisa segera ditindaklanjuti oleh Kementerian dan Lembaga terkait,” ujar Andi yang juga Ketua APKASINDO Provinsi Sulawesi Barat.
“Anehnya lagi, pentolan utama dari NGO Yayasan Kehati tersebut menjadi tenaga ahli seorang deputi di Kemenko Perekonomian. Ini bukan rahasia, Pak Menko Airlangga harus serius mengecek ini,” ujar Andi berharap.
Akibat dari prencanaan yang masuk angin tersebut, ditegaskan Andi, petani sawit terkena dampaknya. Karena dalam Perpres ISPO 44/2020, petani diwajibkan (mandatory) ISPO tanpa persiapan memadai dan menyelesaikan dahulu permasalahan yang ada.
“Akibatnya seperti saat ini, khusus ISPO petani tidak jalan sama sekali. Informasinya sejak Perpres ISPO 2020 diberlakukan tetapi progresnya baru 0,14% untuk petani dari total penerima sertifikat ISPO. Paling memalukan lagi ISPO tidak diakui oleh negara lain. Tentu ini sudah mempermalukan Presiden karena levelnya Perpres. Jadi sesungguhnya target “rahasia” perancang ISPO sudah tercapai,” lanjutnya.
Ada juga kasus tuduhan Walhi terhadap perusahaan sawit di Sulawesi Barat. Itu semua tuduhannya meleset karena program plasma perusahaan tersebut menjadi contoh kesuksesan. “Kok tiba-tiba dikatakan merampok tanah masyarakat dan lain sebagainya ?” tanya Andi.
Hal seperti ini yang patut untuk di usut darimana dana mereka dan bagaimana pertanggungjawabannya kepada Lembaga yang mengawasinya di NKRI ini. Negera tidak bisa diam saja akan kejadian-kejadian seperti ini, dimana NGO local yang dimanfaatkan oleh NGO Asing untuk mengobok-obok kedaulatan negara ini dengan modus lingkungan dan hal seperti ini hanya di Indonesia saja terjadi, lihat saja di negara tetangga, langsung kena kartu merah.
“Menurut saya terlampau mudah data-data Indonesia diambil tanpa filter dan sesungguhnya itulah yang terjadi mengapa UE menerbitkan EUDR karena Komisi UE salah menerima informasi, ” tegas Gulat.
“Terkait ke EUDR juga, itu tidak terlepas dari NGO-NGO yang begitu bebas memberikan data yang menyesatkan ke UE. Kami memahami semua adalah by order dan dengan tujuan yang sudah mereka rancang sejak semula,”jelasnya.
Dari Tanah Papua, Pdt Albert Yoku, S.Th, tokoh masyarakat Papua dan juga Ketua APKASINDO Provinsi Papua sangat setuju dengan prinsip Menko LBP, nasionalisme dan hakikat kebenaran diatas segalanya.
“Statemen Pak LBP tentang audit semua NGO-NGO adalah wujud nyata beliau yang memiliki Integritas tinggi dan berdaulat penuh pada hidup pribadinya yang diikuti dengan prinsip kebenaran yang di yakini benar adanya secara fakta dan data,” lanjut Yoku.
Seperti di Papua, selama ini NGO-NGO begitu mudahnya mengambil data sesuai yang di inginkan mereka tanpa pernah melihat sejarahnya. “Sepertinya NGO ini senang Papua tetap miskin dan tertinggal dengan berbagai modus-modus lingkungan. Ini tidak bisa dibiarkan,” ujar Yoku.
Ia mengeluhkan sepak terjang NGO yang mengatur Papua sesuka hati dan menjelek-jelekkan Papua ke luar negeri dari sisi lingkungan.Kami juga berhak sejahtera sebagaimana sauda-saudara kami di Sumatera dan Kalimantan melalui Perkebunan kelapa sawitnya.
“Kami tidak makan dari lingkungan dan kami tidak sejahtera dari isu lingkungan yang mereka bangun. Mereka makan kenyang dari dana asing, masak kami masyarakat Papua disuruh tetap diam bersama hutan dan miskin?”, keluh Yoku.
Yoku menegaskan bukan hanya NKRI yang harga mati, tetapi juga kelestarian lingkungan sesuatu yang tidak terpisahkan dari harga mati tersebut. Jadi Saya ingin katakan kepada NGO-NGO.
“Jangan ajari kami Papua menjaga kelestarian alam kami, kami jauh diatas apa yang ada dalam benak NGO-NGO tersebut melalui kearifan lokal dan adat budaya kami,” ujarnya.
Menanggapi statemen-statemen dari kawan-kawan petani sawit selama ini yang merasa keberatan dengan bebasnya NGO-NGO Lingkungan masuk ke kebun mereka, Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Gulat ME Manurung. C.IMA, mengatakan memang sudah seharusnya dan sepatutnya NGO Lingkungan ini patuh terhadap aturan negara ini.
Albert Yoku mengeluhkan sepak terjang NGO yang mengatur Papua sesuka hati dan menjelek-jelekkan Papua ke luar negeri dari sisi lingkungan.Kami juga berhak sejahtera sebagaimana sauda-saudara kami di Sumatera dan Kalimantan melalui Perkebunan kelapa sawitnya.
Memang banyak juga NGO-NGO lingkungan yang membantu kami petani sawit. Tapi di sisi lain tidak sedikit juga NGO-NGO yang menyerang sawit. Saya melihat kedepannya yang tidak patuh dan selalu menjelek-jelekkan sawit sebagai sumber kehidupan ekonomi rumah tangga kami Petani sawit patut menjadi perhatian pemerintah, terkhusus kementerian terkait dan intelijen negara.
“Menurut saya terlampau mudah data-data Indonesia diambil tanpa filter dan sesungguhnya itulah yang terjadi mengapa UE menerbitkan EUDR karena Komisi UE salah menerima informasi. Ya mungkin semua karena sesuai pesanan dan kepentingan dari lembaga pemberi donor dari luar negeri,” pungkas Gulat.