Penulis: Mukdin M Turnip
(Dosen Politeknik Wilmar Bisnis Indonesia, Sumatera Utara)
Pemerintah Indonesia telah lama berencana mengubah distribusi minyak goreng dalam bentuk curah ke kemasan agar masyarakat memperoleh minyak goreng dengan higienitas dan mutu yang lebih baik. Disamping itu, konversi minyak goreng curah ke kemasan juga akan meminimalkan penggunaan kembali minyak goreng bekas atau minyak jelantah pada makanan. Diketahui bahwa minyak jelantah tidak layak untuk dikonsumsi karena mengandung bahan-bahan toksik yang bersifat karsinogen (penyebab penyakit kanker) dan juga dipertanyakan kehalalannya. Dari 3 juta kiloliter potensi minyak jelantah di Indonesia, sekitar 80% disinyalir dijadikan minyak goreng daur ulang dan dijual kembali ke pasar, sementara sisanya digunakan sebagai bahan baku biodiesel ataupun kebutuhan lainnya.
Peraturan Menteri Perdagangan yang mengatur minyak goreng wajib kemasan sudah berkali-kali diundur penerapannya dengan beberapa alasan. Dimulai pada tahun 2012, pemerintah telah menargetkan untuk menghentikan penjualan minyak goreng curah pada tahun 2015. Tahun 2016 Pemendag nomor 9/M-DAG/Per/2/2016 yang mengatur minyak goreng wajib kemasan kembali gagal diterapkan dan terakhir Permendag nomor 36 tahun 2020, yang diundangkan pada 2 April 2020, menyebutkan bahwa minyak goreng curah tidak boleh lagi beredar di pasaran mulai 1 Januari 2022.
Permendag nomor 36 tahun 2020 mememuat ketentuan bahwa minyak goreng curah dalam berbagai bentuk kemasan diizinkan hingga berat 25 kg. Kemasan harus menggunakan bahan yang tidak berbahaya bagi manusia sesuai dengan peraturan perundangan dan pedagang pengecer dapat mengemas ulang minyak goreng tersebut secara langsung dihadapan konsumen. Sesuai dengan daya beli konsumen, biasanya pembelian minyak goreng curah dilakukan dengan berat 0,25; 0,5; dan 1 kg. Akhir tahun 2021 tinggal dua bulan lagi dan semoga implementasi Permedag ini tidak ditunda lagi seperti sebelumnya.
Minyak Goreng Kemasan.
Saat ini terdapat banyak jenis minyak goreng dalam kemasan dengan berbagai merek. Jenis kemasannya sangat beragam mulai dari cup 220 ml (gelas plastik), standing pouch 0,5 hingga 2 liter , pillow pack (kemasan bantal) 0,5 dan 1 liter, botol plastik 0,25 hingga 5 liter, jerigen 5 hingga 25 liter, dan kemasan bag in box (BIB) dengan besaran volume 18 hingga 25 liter. Minyak goreng kemasan cup, standing pouch, pillow pack, botol, dan jerigen dengan volume hingga 5 liter telah digunakan oleh masyarakat dan didistribusikan secara luas melalui warung, toko kelontong, mini market, dan supermarket. Minyak goreng dalam kemasan jerigen dan BIB dengan volume minimum 18 liter umumnya langsung dijual ke pengusaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Minyak goreng kemasan khususnya yang terbuat dari minyak sawit juga telah diwajibkan untuk memenuhi standar SNI 7709:2019 yang ditetapkan oleh pemerintah, termasuk kewajiban untuk menambahkan (fortifikasi) vitamin A.
Minyak Goreng Curah dari Kemasan: Mungkinkah?
Minyak goreng curah dari kemasan diartikan sebagai distribusi atau penjualan minyak goreng yang dilakukan dengan penimbangan dan pengemasan langsung di depan konsumen oleh pedagang pengecer dari kemasan besar seperti jerigen atau BIB. Pengemasan yang dilakukan oleh pedagang pengecer dapat menggunakan jenis kemasan plastik sederhana ataupun kemasan yang dibawa sendiri oleh konsumen, seperti botol atau jerigen kecil. Penggunaan kemasan yang dibawa sendiri oleh konsumen dari rumah sudah tentu bersifat ramah lingkungan, karena akan mengurangi limbah plastik.
Dari segi teknis distribusi minyak goreng curah dari kemasan harusnya tidak ada kendala. Teknologi kemasan yang tersedia adalah kemasan minyak goreng menggunakan jerigen ataupun BIB dengan volume minimum 18 liter. Distribusi minyak goreng curah menggunakan jerigen ataupun BIB dari pabrik ke toko atau pasar tradisional tentunya dapat menggunakan distribusi minyak goreng kemasan (non-curah). Untuk mengemas ulang kembali sesuai permintaan konsumen (0,25; 0,5; dan 1 liter) oleh toko pengecer telah tersedia alat yang diproduksi oleh PT. Pindad dengan nama AMHO (Anjungan Minyak Higienis Otomatis), yang diperkenalkan ke masyarakat pada 2018. Mesin AMHO telah menyediakan menu pilihan secara otomatis dengan volume pembelian 0,25; 0.5; dan 1 liter yang bentuknya seperti dispenser.
Mesin AMHO ini menggunakan minyak goreng dalam kemasan jerigen 18, 20, atau 25 liter dan membutuhkan arus listrik dalam pengoperasiannya. Di sisi lain, kemasan BIB juga dapat dijadikan opsi dalam pendistribusian minyak goreng higienis, aman, dan halal. Saat ini telah tersedia kemasan BIB dengan fasilitas tambahan keran khusus untuk mengeluarkan minyak goreng langsung dari kemasan. Kelebihan kemasan BIB ini adalah tidak dibutuhkan ruang untuk penempatan alat seperti halnya AMHO, tidak membutuhkan listrik, dan pedagang pengecer tinggal menyediakan timbangan sebagai alat ukur ketika mengemas ulang dihadapan konsumen.
Gambar kemasan bag in box (BIB)
Bagaimana dengan harga?
Ketika suasana normal maka harga ‘minyak goreng curah dari kemasan’ dapat diduga akan lebih mahal dari ‘minyak goreng curah konvensional’, tetapi akan lebih murah dari minyak goreng kemasan biasa. Hal ini adalah wajar, karena produsen harus membayar biaya kemasan, biaya filling (pengisian) ke dalam kemasan, dan vitamin A. Mutu dan higienitas minyak goreng curah yang terjamin sesuai dengan SNI adalah biaya yang harus ditanggung oleh konsumen.
Pertanyaan yang timbul adalah apakah konsumen mau membayar dan mampu membeli minyak goreng curah dari kemasan ini? Berapa besar keinginan konsumen untuk membayar (willingness to pay) terhadap mutu dan higienitas minyak goreng curah tersebut? Mungkin pada awalnya masyakarakat akan kaget menghadapi harga ini, tetapi dengan adanya sosialiasi dan edukasi kepada masyarakat akan pentingnya higienitas, keamanan, kehalalan minyak goreng, dan pentingnya asupan vitamin A, maka pelan tapi pasti masyarakat akan terbiasa dengan harga yang ada.
Pada kondisi saat ini, yang dapat disebutkan sebagai suasana yang tidak normal karena harga CPO sebagai bahan baku minyak goreng yang meroket, ditemukan bahwa harga minyak goreng kemasan di supermarket bisa lebih murah dari minyak goreng curah. Perputaran minyak goreng curah di pasar yang cepat membuat produsen minyak goreng mau tidak mau harus menyesuaikan harga dengan kenaikan harga CPO seketika itu juga, sehingga harga minyak goreng curah naik lebih cepat dibandingkan minyak goreng kemasan yang perputarannya tidak secepat perputaran minyak goreng curah. Ternyata saat ini konsumen sepertinya menerima saja keadaan tingginya harga minyak goreng curah, hanya pedagang pengecer yang lebih hati-hati untuk membeli minyak goreng curah dibandingkan ketika harga CPO tidak naik tinggi.
Belajar dari keadaan diatas, maka penulis berpendapat bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk mulai mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat akan pentingnya higienitas minyak goreng curah dan hubungannya dengan Permendag nomor 36 tahun 2020.
Kemauan politik pemerintah untuk memberikan vitamin A kepada masyarakat, terutama masyarakat lapis bawah, melalui fortifikasi minyak goreng dapat segera terealisasi dengan berlakunya Permendag ini. Harus disadari bahwa kebijakan fortifikasi vitamin A selama ini tidak menyentuh minyak goreng curah, karena kewajiban penambahan vitamin A hanya diberlakukan pada minyak goreng hingga kemasan 1 ton. Cukuplah sudah waktu sembilan tahun menunggu untuk pemberlakuan aturan tentang minyak goreng wajib kemasan ini.