Nusa Dua, SAWIT INDONESIA – Berdasarkan standar European Union melalui kebijakan European Union Deforestasion Free Regulation (EUDR), Indonesia dinilai sebagai negara dengan penghasil komoditas yang memiliki resiko deforestasi tinggi, salah satunya melalui ekspor minyak kelapa sawit. Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi deforestasi di berbagai negara, namun terjadi ketimpangan antara tuntutan UE dan regulasi di lapangan.
Dan, memberikan dampak signifikan kepada petani sawit. Sebab, ada kesenjangan antara regulasi EUDR dan kondisi di lapangan yang dihadapi petani sawit sehari-hari. Regulasi tersebut memberlakukan benchmarking atau pengelompokan negara eksportir berdasarkan tingkat resiko deforestasi, yakni ‘Tinggi Resiko’, ‘Resiko Menengah’ dan ‘Rendah Resiko’.
Sekretaris Jendral CPOPC (Council of Palm oil Producing Countries), Dr. Rizal Afandi Lukman mengungkapkan tantangan terberat bagi petani sawit Indonesia terletak pada ketelusuran atau tracebility. Karena sebagian besar dari mereka bergantung pada pihak perantara dalam melakukan bisnis, sehingga melacak buah kelapa sawit hingga ke asalnya akan sulit dilakukan.
“Tidak hanya di Indonesia, namun kebijakan EUDR akan berdampak kepada lebih dari 3 juta petani sawit di seluruh dunia,” ungkap Rizal saat menjadi pembicara di Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023, Nusa Dua, Bali, Kamis (2 Oktober 2023).
Dengan adanya EUDR, dikatakan Rizal, petani sawit Indonesia semakin menghadapi tantangan dalam memenuhi kriteria keberlanjutan industri sawit karena manajemen kelompok tani yang belum terorganisir, kurangnya akses pada alat pertanian yang berkualitas dan pembiayaan.
Seperti diketahui, tanpa adanya EUDR petani sawit Indonesia sudah mengalami tantangan dan masih membutuhkan bimbingan dalam memenuhi kriteria keberlanjutan industri sawit. Karena manajemen kelompok tani yang belum terorganisir, kurangnya akses pada alat pertanian yang berkualitas dan pendanaan.
Penulis: Robi Fitrianto