JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Industri kelapa sawit bisa mendukung targetPemerintahan Joko Widodo untuk meningkatkan ekspor nasional dan pertumbuhan ekonomi. Asalkan komoditas memperoleh kemudahan dalam berusaha dan tidak dibebani regulasi yang bersifat kontraproduktif.
Gagasan ini diungkapkan tiga pembicara yaitu Bambang (Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI), Danang Giriwardana (Direktur Eksekutif GAPKI), dan Bhima Yudhistira (Pengamat Ekonomi INDEF) dalam Diskusi Forum Wartawan Pertanian (FORWATAN) yang bertemakan “Selamatkan Ekonomi Nasional Dengan Sawit” di Kementerian Pertanian, Rabu (7 Maret 2018).
Bambang, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI, mengatakan sejumlah negara yang menjadi pasar utama sawit seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat membuat kampanye negatif di pasar global. Tujuannya adalah menekan daya saing sawit untuk mendapatkan harga lebih murah. Kendati demikian, permintaan sawit diperkirakan akan tetap tinggi guna memenuhi kebutuhan global.
“Mereka tidak ingin mematikan sawit tetapi ingin daya saingnya turun. Merekan mainkan isu negatif ini untuk menekan produk sawit di pasar internasional,” kata Bambang.
Bhima Yudistira Adhinegara, Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menjelaskan bahwa industri sawit mempunyai empat keunggulan untuk menopang sektor perekonomian nasional. Pertama, perkebunan sawit mampu menyerap tenaga kerja tinggi sampai 8,2 juta tenaga kerja. Inipun belum termasuk penyerapan tenaga kerja tidak langsung sebanyak 13 juta orang di sektor sawit.
“Tanpa komitmen tinggi pemerintah terhadap sawit, apakah bisa mencari komoditas perkebunan yang mampu mempekerjakan 8,2 juta orang,” kata Bhima.
Kedua, berdasarkan studi penelitian internasional bahwa pendapatan masyarakat di luar Jawa yang bekerja di sawit 4 kali lebih tinggi dari garis kemiskinan. Menurut Bhima, pendapatan petani sawit lebih tinggi daripada petani non sawit terutama di wilayah luar Jawa.
Keunggulan ketiga, kata Bhima, adalah kelapa sawit meningkatkan kinerja sektor manufaktur terutama pertumbuhan industri makanan dan minuman tertinggi sebesar 9,23% pada 2017.
Berikutnya adalah kelapa sawit menjadi penyumbang devisa terbesar Indonesia. Menurut Bhima, smbangan devisa sawit per 2017 mencapai Rp300 triliun. Porsi ekspor sawit terhadap total ekspor non migas mencapai 15,1%.
Dikatakan Bhima dengan berbagai keunggulan dimiliki sawit untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan ekspor. Seharusnya, pemerintah dapat mengandalkan sawit untuk menopang target pertumbuhan ekspor 11% pada 2018. “Kelapa sawit dapat menjadi andalan ekspor. Walaupun demikian, saya perkirakan ekspor hanya bisa tumbuh tujuh persen tahun ini,” tambahnya.