JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Industri sawit terus dipojokkan dengan berbagai isu negatif yang dihembuskan sejumlah kelompok oportunis. Nasib 40 juta masyarakat Indonesia yang hidup dari sawit menjadi pertaruhan.
Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) Christianto Wibisono menjelaskan kelapa sawit sebagai komoditas unggulan minyak nabati dunia semakin dipojokkan melalui kegiatan popularitas politik serta mengatasnamakan kepentingan rakyat.
“Tampaknya ada kelompok tertentu berbicara dan bertindak dengan mengatasnamakan rakyat lalu mereka sudah paling benar. Sayangnya, rakyat yang mana yang mereka bela itu tidak jelas. Apakah rakyat Indonesia atau masyarakat Eropa di sana yang tidak mampu bersaing dengan Indonesia memenangi peta persaingan minyak nabati dunia,” jelas Christianto di Jakarta, Rabu (7/8).
Menurutnya ketika sedang diupayakan perjuangan Indonesia untuk memenangi persaingan sebagai produsen minyak nabati dunia ini. Namun segelintir anak bangsa yang ikut hura-hura seolah-olah pro rakyat, tetapi memiliki agenda lain didalamnya.
“Ini bagian yang tidak bisa dihindari. Kelompok oportunis pasti muncul,” kata dia.
Untuk itu, Christianto meminta berbagai unsur masyarakat untuk bersatu seperti para pakar,akademisi, wartawan untuk membangun perlawanan melalui tindakan yang benar dan kajian ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Dia mengingatkan Indonesia telah menjadi menjadi bagian penting dalam kancah persaingan global. Terbukti banyak kepentingan asing terutama dengan memanfaatkan lembaga swadaya atau NGO untuk meredam potensi-potensi sumber daya alam Indonesia.
Pengamat Kehutanan dan Lingkungan Ricky Avenzora mengatakan, pemerintah harus mengakomodasi berbagai kemajuan teknologi dan kebutuhan masyarakat dalam menerapkan berbagai kebijakan agar tidak menimbulkan persoalan baru seperti kemiskinan serta persoalan sosial lainnya.
“Saat ini, ada sekitar 40-60 juta jiwa yang hidup tergantung pada industri berbasis sumber daya alam seperti kelapa sawit. Ini tidak boleh dibiarkan mati,” kata Ricky Avenzora.
Menurut Ricky, pemerintah harus mempunyai ketegasan agar kekeliruan masa lalu tidak terulang. Berbagai kebijakan seperti penataan gambut harus mempunyai keseimbangan antara lingkungan dan pembangunan agar tidak mematikan industri yang sudah ada. (Qayuum)