Oleh : A. Navis Prastiawan (Mahasiswa Universitas Sriwijaya)
Tahukah anda pada 2020 diprediksi kebutuhan minyak nabati dunia mencapai 236 juta ton. Jumlah ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hampir 7,5 milyar orang di dunia. Biasanya minyak nabati digunakan sebagai bahan baku bahan penggorengan, pelumas, bahan pewangi, pengobatan, biodisel dan berbagai penggunaan industri.
Saat ini sumber minyak nabati di dunia diperoleh dari minyak sawit 34%, minyak kedelai 27%, minyak rapeseed 14%, minyak bunga matahari 9% dan sisanya berasal dari sumber minyak nabati lainnya. Dari 276,6 juta hektar luas lahan minyak nabati diseluruh dunia ternyata kelapa sawit menjadi yang paling kecil penggunaan lahannya yaitu sekitar 8% dari jumlah keseluruhan dan yang paling besar penggunaannya adalah kedelai dengan 45% dari jumlah keseluruhan. Meskipun hanya seluas 8 % dari jumlah keseluruhan lahan minyak nabati faktanya kelapa sawit menjadi sumber minyak nabati yang paling produktif dengan biaya produksi yang paling kecil.
Dengan fakta diatas tidak salah jika kita menjuluki kelapa sawit sebagai raja minyak nabati dunia, namun saat ini sang raja sedang menghadapi badai yang cukup besar yaitu sang raja sedang mengalami diskriminasi oleh negara-negara eropa. Negara Eropa telah mensepakati aturan Renewable Energy Directive II (RED II) yang menetapkan kriteria tanaman minyak nabati yang beresiko tinggi dan beresiko rendah berkaitan dengan perubahan fungsi lahan dan deforestasi. Bagi tanaman yang dikategorikan beresiko tinggi akan dibatasi penggunaanya dan dihapuskan secara bertahap dipasar bahan bakar eropa. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa kelapa sawit masuk sebagai tanaman minyak nabati beresiko tinggi. Padahal menurut fakta yang terjadi penggunaan lahan kelapa sawit lebih rendah dari tanaman minyak nabati lainnya.
Dengan diberlakukannya peraturan diskriminatif tersebut dapat membuat jatuhnya harga minyak sawit dunia yang tentunya akan sangat berdampak bagi perekonomian negara yang komoditi unggulannya minyak sawit termasuk indonesia. Oleh karenanya diperlukan dukungan dari berbagai pihak agar produk sawit khususnya produk sawit Indonesia tidak mengalami diskriminasi serta tercapainya Sustainable Development Goal’s (SDGs) yang telah ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa.