Di umur 67 tahun, Haji Muhamad Baqin merasa bersyukur. Punya rumah tinggal dan bisa naik haji. Itu semua dari usaha berkebun sawit.
Haji Muhamad Baqin, penduduk Kuamang Kuning, menceritakan ketertarikannya ikut program transmigrasi di era 1980-an. Pria asal Ngawi ini mengakui awalnya bekerja serabutan menjadi buruh tani di kampung. Karena tidak punya sawah di Ngawi. Dia tertarik ikut program transmigrasi pada 1985. Saat itu, pemerintah menjanjikan lahan satu kavling atau seluas 2 hektare di wilayah transmigrasi.
Setibanya di Kuamang Kuning, Muhamad Baqin mendapatkan lahan plus rumah. Awalnya, dia menanam palawija seperti padi, jagung, dan kedelai. Akibat serangan hama, tanamannya hanya panen satu kali.
“Waktu itu, biaya hidup tidak cukup. Apalagi saya bawa istri dan ketiga anak kesini (red-tepatnya di Desa Karya Harapan Mukti),” kenangnya.
Seringnya gagal panen palawija menjadi alasan Muhamad Baqin beralih kepada kelapa sawit. Dia tertarik karena kegiatan pembangunan kebun sawit dibantu PT Sari Aditya Loka (SAL) 2, anak usaha PT Astra Agro Lestari Tbk. PT SAL 2 berperan sebagai avalis (penjamin) kredit petani yang tergabung dalam program inti plasma sawit di Kuamang Kuning.
Kebun sawit Muhamad Baqin mulai dibangun pada 1992. Empat tahun berikutnya, tanaman sawitnya mulai berbuah.”Cicilan kredit mulai tahun 1996. Saya lunasi dalam waktu empat tahun,” ujarnya.
Begitu kredit lunas, Haji Baqin terus menambah lahan. Hingga sekarang, kebun sawit yang dimilikinya berjumlah 6,5 hektare. Rata-rata produksi Tandan Buah Segar (TBS) Sawit kebunnya sekitar 2 ton per 2 hektare. Dalam sebulan, panen yang dihasilkan sekira 6 ton TBS atau setara 6.000 kilogram. Dengan harga TBS bulan September 2017 di Kuamang Kuning sekitar Rp 1.625 per kilogram dikalikan 6.000 kilogram, total penghasilan Rp 9.750.000 per bulan.
“Tiap bulan berbeda penghasilan, ini bergantung kepada perawatan dan hasil panen tiap bulan,” kata ayah empat anak ini tanpa mau merinci besaran pendapatan per bulan dari sawit.
Dari sawit, Haji Baqin dapat membiayai pendidikan keempat anaknya. Salah satu anaknya lulusan S1. Bahkan, duit haji diperoleh dari sawit. Anaknya yang lain kini melanjutkan usaha perkebunan sawit miliknya.
Di usia 67 tahun, Haji Baqin merasa bersyukur dengan nasibnya sekarang. “Sewaktu di Jawa dulu menjadi petani sawah pas-pasan hidupnya. Tetapi dari sawit hidup saya lebih baik lagi,” cerita Kakek dari 11 cucu ini.
Wajah Kuamang Kuning era transmigrasi telah berubah saat ini. Perubahan tampak dari rumah lama Haji Baqin; rumah untuk peserta transmigran ini masih berdinding kayu. Tetapi sekarang, rumah Haji Baqin berganti rumah tembok seluas 300 meter lebih. Di rumah inilah Haji Baqin menikmati hari tuanya. Tidak lagi memikirkan utang PIR-TRANS. Kini dirinya sedang menyisihkan penghasilan untuk peremajaan tanaman tua (replanting) di eks kebun PIR-TRANS.