JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pelaku Usaha berpandangan produk minyak kelapa sawit Indonesia sejatinya tidak akan sulit masuk ke pasar Eropa meski adanya European Union Deforestation-free Regulation (EUDR) atau Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa. Hal tersebut dikarenakan Indonesia sudah memiliki sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil atau ISPO.
Sebagai informasi, EUDR merupakan rancangan regulasi yang dimiliki oleh Uni Eropa yang bertujuan mengenakan kewajiban uji tuntas terhadap 7 komoditas pertanian dan kehutanan, termasuk kelapa sawit. Kewajiban ini adalah untuk membuktikan bahwa barang yang masuk ke pasar Uni Eropa merupakan barang yang bebas dari deforestasi. EUDR sendiri mulai berlaku pada tanggal 29 Juni 2023.
Direktur Sinarmas Agro Resourch and Technology Tbk. Agus Purnomo mengatakan Uni Eropa pada dasarnya menuntut dua hal yaitu lokasi dari produk sawit itu dari kebun yang tidak menyebabkan deforestasi, dan kedua lokasinya itu legal. Artinya memenuhi persyaratan perizinan yang diatur masing-masing produsen sawit.
“Sementara ISPO punya berbagai kriteria keberlanjutan lainnya. Jadi kalau sudah punya ISPO sebetulnya sudah meenuhi EUDR,” ujar Agus Pogram Evening Up CNBC Indonesia, dikutip Senin (27/11/2023).
Dia mengatakan, ISPO inilah yang membuat harapan pemerintah agar meningkatkan pangsa sawit Indonesia ke pasar dunia. Sebab, kata dia, ISPO selain mempunyai aspek ketelusuran dan legalitas, juga mempunyai aspek-aspek sosial di dalamnya.
Namun, Agus mengatakan ada beberapa kendala mengenai ISPO sendiri.
Pertama, peraturannya yang masih direvisi dan juga keikutsertaan pelaku usaha dan petani sawit yang masih minim.
“Tapi sekarang yang punya ISPO masih kecil. Yang perusahaan mungkin 25 persen sementara kebun rakyat jauh di bawahnya. Sehngga butuh upaya agar pelaku sawit kita miliki ISPO,” ucapnya.
Di samping itu, lanjut Agus, ada hal-hal teknis lain yang membuat ISPO tidak serta-merta diterima. Pertama, UE mensyaratkan produk yang masuk kesana harus dikelola segregated atau suatu cara dimana yang diolah itu tidak tercampur antara yang jelas asal-usulnya dengan yang masih diurus asal-usulnya.
“Mayoritas pabrik kelapa sawit kita mungkin 90 persen itu mencampur buah-buah yang sudah jelas asal-usulnya dengan buah yang masih harus ditelusuri lagi. Sehingga mayoritas pabrik kelapa sawit tidak bisa mengirim produk ke Eropa,” ungkap Agus.
“Kalau kita berhasil lebih banyak kebun rakyat mendapatkan ISPO maka, aspek segregasi itu terpenuhi. Ini belum, kita masih berdiskusi dengan berbagai pengambil keputusan agar bisa dipercepat mendapatkan sumber-sumber buah yang dalam bahas Inggrisnya clean and clear. Yang jelas asal usulnya,” pungkas Agus.
Penulis:Indra Gunawan