JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kelapa sawit memiliki kemampuan untuk menyerap emisi gas rumah kaca sebagai bagian menekan dampak perubahan iklim. Tetapi, belum banyak studi ilmiah yang mengkaji komprehensif. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Petrus Gunarso, Kepala Divisi Riset, Kebijakan, dan Advokasi RJR.
“Kelapa sawit memiliki peranan untuk menyerap emisi karbon. Masalahnya, belum banyak menghitung kemampuan ini,” ujarnya dalam dalam Debat Terbuka bertemakan “Peran Kelapa Sawit Dalam Perubahan Iklim Dunia” yang diselenggarakan Yayasan Pusaka Kalam dan Relawan Jaringan Rimbawan (RJR) Senin (4 Oktober 2021).
Ia menjelaskan bahwa pemerintah menargetkan sektor pertanian berkontribusi pengurangan emisi karbon 0,32% dari target 29% dalam NDC. Sementara, sektor kehutanan ditargetkan 17% dari NDC. Jadi yang harus mengurangi emisi karbon paling banyak di sektor kehutanan.
Sebagai informasi, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29 persen melalui sumber daya di dalam negeri. Target ini dapat mencapai 41 persen syaratnya ada dukungan internasional, termasuk keuangan, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas dengan skenario business as usual pada 2030. Komitmen Indonesia tersebut diperkuat melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Republik Indonesia yang pertama pada bulan November 2016
“Jadi NDC adalah kontribusi Indonesia dalam pengurangan emisi GRK. Komitmen Indonesia sebesar 29% unconditional, namun menurunkan 41% apabila ada dukungan internasional,” jelasnya.
Ia mengatakan sektor kehutanan dibebani sedemikian besar sehingga menciptakan moratorium se-Indonesia.”Ini bagaimaan rimbawan mau bekerja. Terlalu berat bagi sektor kehutanan menanggung ini sendiri,” jelasnya.
Dalam Inpres Nomor 6/2019 mengenai Rencana Aksi Sawit Nasional. Ada arahan tugas dari Presiden kepada Kementerian terkait. Sebagai contoh, Kementerian LHK diminta untuk melakukan pengukuran, pelaporan dan verifikasi (measurement, reporting, and verification/MRV) potensi penurunan emisi gas rumah kaca di perkebunan kelapa sawit.
Selanjutnya Kementerian Pertanian ditugaskan meningkatkan akses pendanaan peremajaan tanaman bagi pekebun. Selain itu, melaksanakan penurunan emisi gas rumah kaca di kebun dan lahan.
Bagi Kementerian ATR/BPN diberikan tugas yaitu meningkatkan pemanfaatan lahan kritis sebagai upaya penurunan emisi gas rumah kaca dalam perkebunan kelapa sawit, melakukan penanganan sengketa lahan perkebunan kelapa sawit di kawasan area penggunaan lain, dan legalisasi lahan hasil penyelesaian status perkebunan dalam kawasan hutan dan penyelesaian sengketa lahan.
“Saya belum mendapatkan update informasi sejauh mana Kementerian terkait untuk melaksanakan berbagai tugas dalam RAN Sawit,” jelas lulusan S3 Universitas of Queensland.
Dengan luasan kelapa sawit mencapai 16,3 juta ha seharusnya ada potensi dalam penyerapan gas rumah kaca. Prof Yanto menguraikan bahwa kelapa sawit ini juga melalui proses fotosintesa dan respirasi yang dapat menyerap emisi karbon.
“Dari penelitian berbagai pakar bahwa laju fotosintesa kelapa sawit lebih tinggi daripada hutan tropikal. Karbon stok hutan alam tinggi karena usia tanamannya sudah berpuluh tahun. Tetapi kelapa sawit ini usianya hanya 25 tahun. Jika menghitung dari karbon stok tidak fair karena umurnya berbeda,” ujar Yanto.
Itu sebabnya, lebih fair menghitung penghematan emisi dari laju respirasi dan fotosintesa. Selain itu, biomassa kelapa sawit lebih tinggi dari tanaman lain. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, sawit mempunyai kemampuan menyerap CO2 yang tinggi (251,9 ton/ha/th), dan ini sangat berguna dalam mengurangi konsentrasi CO2 di udara. Pada aspek ekofisiologis, sawit membawa keuntungan karena kemampuan fiksasi CO2, kemampuan produksi O2 (183,2 ton/ha/th) dan biomassa (C) yang tinggi. Produksi biomassa perkebunan kelapa sawit juga dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan hutan tropis.
Sementara itu, apabila dibandingkan antara kelapa sawit dan hutan, setiap hektare kebun sawit secara netto menyerap sekitar 64 ton karbon dioksida setiap tahun dan menghasilkan oksigen sekitar 18 ton. Sedangkan hutan secara netto menyerap sekitar 42 ton karbon dioksida dan menghasilkan oksigen sekitar 7 ton.
Penggunaan biodiesel berbasis sawit sebagai campuran bahan bakar transportasi juga mendukung penyerapan emisi GRK. Kementerian ESDM melansir data implementasi bahan bakar biodiesel biodiesel itu berhasil mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 11,4 juta ton.
“Itu sebabnya, penyerapan emisi karbon oleh sawit ini memerlukan kajian mendalam dan komprehensif. Karena, kami yakin potensi sawit menghemat emisi karbon sangat besar,” jelas Petrus Gunarso.