JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Booming harga minyak sawit membawa berkah bagi pelaku industri dan petani. Di sisi lain, imej minyak sawit tidak lagi menjadikannya sebagai minyak nabati murah. Jarak harga minyak sawit dengan minyak kedelai semakin dekat. Begitupula dengan minyak nabati lain seperti minyak bunga matahari dan kanola.
“Dengan harga minyak sawit seperti sekarang menjadikannya bukan lagi minyak nabati murah. Selisihnya tidak terlalu jauh dengan minyak nabati lain,” ujar Santosa, Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk, dalam Talk To CEO 2022, Selasa (15 Februari 2022).
Sebagai perbandingan, selisih harga minyak sawit dengan minyak kedelai mencapai US$200/ton pada sepuluh tahun lalu. Tetapi kini, jaraknya semakin dekat. Selisih harga kedua minyak nabati antara US$90-US$130/ton
Berdasarkan data Malaysian Palm Oil Council (MPOC), harga CPO Rotterdam sebesar US$1460/ton di perdagangan 10 Februari 2022. Sementara minyak kedelai sebesar US$ 1596/ton. Artinya ada jarak US$136/ton. Bahkan pada 3 Februari 2022, selisih harga minyak sawit dengan kedelai sebesar US$92/ton.
Statement Santosa mendekati kenyataan begitu melihat data Solvent Extractors’ Association (SEA) India. Pada Januari kemarin, dikutip dari Reuters, minyak sawit mentah (CPO) berkisar US$1.510/ton termasuk biaya, asuransi dan pengiriman (CIF). Namun di India, harga CPO lebih mahal ketimbang harga minyak kedelai mentah US$1.506/ton dan US$1.475/ton untuk minyak bunga matahari.
Dibandingkan setahun yang lalu, harga CPO lebih murah US$74/ton untuk minyak kedelai. Bahkan, selisihnya dengan harga minyak bunga matahari sebesar US$272/ton.
Santosa mengatakan harga minyak sawit mulai dirasakan kenaikannya sekitar enam sampai tujuh bulan lalu. Kendati demikian, ia enggan menjawab proyeksi harga CPO di tahun ini.
“Harga CPO naik baru enam sampai tujuh bulan lalu, sekitar September dan Oktober. Baru tahun ini (naik), langsung kena gebuk. Padahal, harga sawit pernah berada di titik terendah. Komoditas memang seperti ini. Waktu harga (dunia) murah, Indonesia juga sama,” jelasnya.
Dalam kesempatan terpisah, Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, menegaskan harga CPO yang terlalu tinggi dapat menjadi racun bagi industri sawit. Jika harga CPO merangkak naik, dikatakan Sahat, dapat menjadi racun bagi keberlanjutan industri sawit. Racun yang dimaksud adalah dampak merugikan kepada perusahaan dan petani.
Racun yang pertama adalah aspek produktivitas. Dikatakan Sahat, tingginya harga menyebabkan. pelaku usaha perkebunan cepat berpuas diri. Tidak mau berbenah mendongkrak produktivitasnya.
“Dengan harga tinggi, produktivitas tanaman hanya mencapai 9 ton Tbs/ha/thn. Perusahaan maupun petani sudah merasa puas karena harga TBS di level Rp 3.800/kg. Akibatnya mereka enggan meningkatkan produktivitas lebih tinggi,” kata Sahat.
Racun kedua adalah kehadiran kompetitor baru. Sahat berpijak kepada histori komoditas minyak nabati yang menunjukkan apabila margin produk itu tinggi. Artinya inviting competitor sedang membuat produk sejenis.
Ia mencontohkan saat di tahun 1950-an di mana harga karet mencapai US$ 3,7/kg akibat perang Korea. Para ahli kimia mengembangkan teknologi “Synthetic Rubber”. Maka, hadirlah inovasi yang menciptakan produk sama baiknya dengan kualitas mirip karet alam.
“Akibatnya, perkebunan karet sampai sekarang terpuruk. Apalagi jika harga minyak fosil itu di bawah US$ 60/barrel. Ini membuat Synthetic Rubber bisa dijual dengan harga rendah,” tuturnya.
Begitupula dengan kondisi harga sawit tinggi seperti sekarang. Menurut Sahat mulai muncul inovasi yang dikembangkan peneliti untuk membuat “Synthetic Palm Oil”.