JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) memproyeksikan dana pungutan ekspor yang diperoleh mencapai Rp 34,5 triliun sampai 2022. Capaian pungutan ekspor ini lebih rendah 48% daripada tahun 2021 yang mencapai Rp 71,6 triliun.
Penurunan nilai pungutan ekspor dipengaruhi rendahnya volume ekspor produk sawit di tahun ini. Pada 2022, volume ekspor sawit sebesar 34,67 juta ton. Angka ini lebih rendah dari tahun lalu berjumlah 37,78 juta ton.
“Turunnya ekspor dipengaruhi kebijakan pemerintah yang menunda ekspor produk sawit seperti CPO dan RBD dari April sampai Mei. Dalam masa satu bulan itu tidak ada ekspor sehingga kalau dibandingkan dengan tahun 2021 terjadi penurunan volume ekspor sawit,” ujar terang Eddy Abdurachman, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada press conference akhir tahun BPDPKS Kamis, 22 Desember 2022 di Hotel Grand Hyatt Jakarta.
Faktor lainnya adalah pemerintah menunda tarif pungutan ekspor sebagai bagian penerapan kebijakan DMO sawit.”Kebijakan ini terus dijalankan sampai 15 November atau sekitar 4 bulan di mana BPDPKS tidak mendapatkan penerimaan ekspor. Sebagai dampak tarif pungutan ekspor nol persen. Tetapi sejak 16 November, pungutan ekspor berlaku kembali di mana harga CPO telah di atas US$800 per ton,” urainya.
Menurut Eddy, kebijakan Pungutan Ekspor telah berhasil mendorong hilirisasi dengan komposisi ekspor CPO yang terus menurun. Berdasarkan volume ekspor, produk turunan sawit telah di atas 90% dan produk mentah atau CPO hanya 6%.
Sektor sawit di Indonesia yang melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 16juta tenaga kerja, dapat terus mendorong PDB di sektor perkebunan pada angka yang positif, sehingga PDB Indonesia di triwulan ketiga 2022 dapat bertumbuh positif di angka 5,72%. Industri kelapa sawit ini telah berkontribusi pada pendapatan pemerintah, keuntungan bagi perusahaan, lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan bagi petani kecil.