(Penulis: Freddy Sinurat, Profesional Perkebunan Sawit)
Tantangan pertama bagi yang peduli dan berpihak pada industri minyak sawit yang baik adalah menunjukkan sikap. Selain versi Inggris, Greenpeace juga membuat film versi Indonesia bertajuk: “Rang-tan: kisah tentang minyak sawit kotor”. Pembaca bisa melihat film-film itu di Youtube, dan bagi teman yang berpihak kepada industri sawit yang baik apabila bersedia bisa memberikan penilaian: dislike atau tidak suka.
Alasannya tentu seperti dikemukakan di atas, kita tidak sepakat dengan penyamarataan pada film itu yang sangat merugikan reputasi industri minyak sawit Indonesia. Kalau mau, teman juga bisa memberi komentar pada bagian bawah sesuai aspirasi masing-masing. Sampai tadi siang (Rabu, 12 Desember 2018, pukul 13.00 WIB) ada 192 like, 109 dislike dan 20 komentar.
Sekarang ini, dunia membutuhkan informasi yang berimbang mengenai industri minyak sawit. Masyarakat internasional juga membutuhkan informasi yang seimbang mengenai minyak sawit: produktivitasnya, efisiensi dalam penggunaan lahan, keunggulannya dalam berbagai jenis keperluan atau penggunaan (misalnya menjadikan gorengan lebih renyah), keamanannya untuk kesehatan manusia, kehalalannya, keberhasilannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus mewujudkan pemerataan pembangunan di seluruh pelosok nusantara, kemampuannya memicu dan memacu pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah (yang akan sangat sulit terjadi bila hanya mengandalkan pemerintah semata dengan semua keterbatasannya serta mengingat luasnya Indonesia).
Tidak ada pihak lain yang bisa kita harapkan melakukan itu semua, memasok informasi positif kepada masyarakat internasional, kepada dunia luas, selain daripada pelaku industri minyak sawit sendiri. Yang lebih baik adalah bila semua pihak mau terlibat, berpartisipasi untuk memenangkan perang ini. Dalam terminologi militer Indonesia itulah yang dinamakan dengan: Perang Semesta.
Perlu diingat bahwa gerakan kampanye negatif dan kampanye hitam terhadap minyak sawit Indonesia telah dilakukan sejak awal tahun 2000-an dengan menyasar para pembeli CPO hingga konsumen di Amerika dan Eropa. Pemerintah dan swasta telah berusaha mengimbanginya namun ternyata belum cukup.
Maka tantangan kedua adalah berkreasi membuat video sederhana, boleh menggunakan smartphone, untuk diunggah ke kanal Youtube dll, yang menggambarkan kehidupan keseharian petani di kebun kelapa sawit, kehidupan masyarakat di perdesaan, aktivitas sosial masyarakat petani kelapa sawit (musyawarah, pertemuan kelompok tani, rapat anggota koperasi, kegiatan olah raga, upacara adat, pagelaran kesenian dan acara keagamaan), pokoknya apa saja yang baik dan menarik di lingkungan masyarakat petani kelapa sawit. Video tidak boleh terlalu panjang, durasinya cukup 1,5 hingga 2 menit, namun bila perlu boleh dibuat berseri.
Selalu ingat untuk memberi judul yang baik dan terkait dengan minyak sawit, misalnya: Kami menanam sawit yang baik; minyak sawit yang bersih; kehidupan di perkebunan sawit yang baik, dan lain sebagainya. Video ini memperlihatkan betapa banyaknya orang yang terlibat dalam produksi minyak sawit sebagai industri yang padat karya. Tidak seperti minyak nabati yang diusahakan di Amerika dan Eropa yang padat modal.
Perlu diingat bahwa video yang dibuat bukan hanya untuk penonton di luar negeri, tetapi terutama justru untuk penonton di dalam negeri, saudara sebangsa setanah air, yang selama ini kurang mendapat informasi atau malah belum mendapat informasi seimbang, bahkan sudah terlanjur punya persepsi buruk mengenai industri minyak sawit.
Tantangan ketiga ini lebih menarik. Setelah membuat video yang mempromosikan dengan baik industri minyak sawit Indonesia, kita juga perlu membuat video yang dengan ramah menyapa teman-teman petani di belahan dunia lain, khususnya di Asia.
Teman di Sumatera bisa membuat video untuk petani Tiongkok, memperlihatkan dirinya sedang mengawasi kegiatan panen sawit di kebunnya lalu berkata: “Ni hao, kami suka jeruk mandarin, kami berharap teman-teman petani di China juga suka menggunakan minyak sawit dari Indonesia, xie xie.” Youtube, Facebook dll memang masih diblokir oleh Tiongkok, tetapi ada saja caranya bagi orang untuk melihat video itu jika sudah ada di Youtube.
Pada video lain, seorang sahabat dari Kalteng memperlihatkan brondolan sawit di tangannya dan berkata: “Namaste, salam buat teman-teman petani di India, kami suka menonton film India, bintang favorit kami: Amitabh Bachan dan Shah Rukh Khan. Kami harap India suka memakai minyak sawit dari Indonesia. Namaste.”
Video lainnya, seorang teman dari Sulawesi sedang menggoreng ikan dengan minyak sawit berkata: “Assalamualaikum, kami suka jeruk Kino dari Pakistan dan berharap semoga teman-teman kami di Pakistan juga menyukai minyak sawit Indonesia, Wassalamualaikum.”
Itu sekadar contoh. Juga ada video untuk Bangladesh, Srilanka, Saudi Arabia, Iran, Iraq, dan petani-petani di Asia dan Afrika.
Video-video yang sederhana, buatan sendiri, apa adanya, dengan sapaan yang tulus untuk menyambung rasa, menghubungkan emosi antar sesama petani di Asia. Petani menyapa petani. Hanya petani yang bisa memahami rasanya menjadi petani. Saatnya petani memengaruhi pasar dunia melalui rekan-rekannya sesama petani. Bahasanya pun boleh menggunakan bahasa Indonesia. Teknologi sudah semakin canggih, penerjemahan sekarang urusan gampang. Apalagi akan ada saja orang yang mau membantu menerjemahkan atau membuat teks untuk video yang baik, karena kesadaran dan keberpihakan terhadap industri minyak sawit ataupun sekadar untuk menambah jumlah pelanggan di Youtube.
Demikianlah tiga tantangan bagi kita yang berpihak pada industri minyak sawit Indonesia: (1) Memberi tanda “dislike” pada video-video yang berisi informasi negatif tentang minyak sawit Indonesia serta memberi komentar kritis. (2) Membuat video yang secara baik mempromosikan kegiatan produksi di perkebunan kelapa sawit dan kehidupan di lingkungan masyarakat petani kelapa sawit, diunggah ke Youtube. (3) Membuat video yang berisi pesan / komunikasi untuk sahabat tani lain di belahan dunia lain, khususnya Asia, diunggah ke Youtube.
Kalau sepuluh persen saja dari petani sawit Indonesia mau melakukan ini berarti ada 1,7 juta unggahan video di Youtube berisi konten positif mengenai minyak sawit yang baik dari Indonesia. Kita viralkan bersama, sehingga menjadi perhatian dunia. Viralkan di Youtube, Twitter, Facebook, dan semua kanal internet yang dibuat oleh Amerika dan Eropa. Dengan demikian mereka memperoleh informasi yang berimbang.
Informasi tambahan:
“Iceland” adalah nama jaringan supermarket di Inggeris, menguasai sekira 2,2% pangsa pasar, membuatnya berada pada urutan ke-9 dalam industri retail, dengan jumlah toko dilaporkan lebih dari 900 unit, lebih dari 800 berada di Inggeris dan sisanya di beberapa negara Eropa, khususnya kota dimana terdapat banyak imigran dari Inggeris. Iceland adalah spesialis makanan beku, meski belakangan tokonya juga menjual makanan olahan dan makanan segar. Terkenal sebagai toko diskon dan makanan murah.
Supermarket ini berdiri pada 1970 oleh Sir Malcolm Walker CBE bermitra dengan Peter Hinchcliffe, saat keduanya bekerja sebagai karyawan Woolworths, perusahaan jaringan retail di Inggeris. Nama “Iceland” dipilih atas saran dari isteri Walker yang bernama Rhianydd. Bermodal awal 60 Poundsterling sebagai biaya sewa toko untuk sebulan, berdua mereka mengelola usahanya sebagai “usaha sampingan”. Mereka berdua lalu dipecat, segera setelah Woolworths mengetahui adanya toko itu sebagai “usaha sampingan”. Pada tahun 2016, nama “Iceland”, yang juga merupakan nama suatu negara, dipermasalahkan oleh pemerintah Islandia karena menilai bahwa perusahaan itu maupun produknya tidak ada kaitannya dengan negara Islandia.
Anak dari pendiri Iceland, Richard Walker, 37 tahun, kini sebagai Direktur Pelaksana, pada profil di microsite Twitter menyatakan dirinya sebagai anggota Greenpeace. Pada laman blognya, Richard Walker menuliskan tentang pengalaman dari perjalanannya ke Kalimantan Barat pada tahun 2017 telah membuatnya memutuskan menghentikan penggunaan minyak sawit, dengan jumlah sekitar 1.000 ton setiap tahunnya.
Pada bulan April 2018, Iceland menyatakan meniadakan minyak sawit dari seluruh produk dengan merk sendiri yang dijual di jaringan supermarketnya. Hal ini tidak berarti sama sekali tidak menjual produk yang mengandung minyak sawit, sebab Iceland juga menjual produk selain merk sendiri.
Pada November 2018, Iceland bermaksud menayangkan iklan khusus untuk musim Natal, bertajuk “Rang-tan the story of dirty palm oil”, dibuat oleh Greenpeace, namun gagal ditayangkan pada jaringan televisi Inggeris karena tidak mendapat persetujuan dari Clearcast, organisasi yang bertugas menilai kelayakan iklan untuk ditayangkan ke publik.
Media Inggris, Independent, pada 6 Desember 2018 memberitakan laporan yang menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia dan Malaysia telah berusaha membujuk pemerintah Inggeris untuk bertindak menyusul pengumuman Iceland pada April 2018.
Pada Mei 2018, para diplomat Inggeris telah mengingatkan pemerintahnya bahwa keterlibatan dalam usulan pelarangan impor minyak sawit akan beresiko terhadap persetujuan pembelian senjata yang menguntungkan antara perusahaan Inggeris BAE Systems dengan pemerintah Malaysia.
Indonesia pun sudah menyatakan akan membatalkan pembelian sejumlah pesawat Airbus untuk kebutuhan maskapai di Indonesia. Sistem politik di Inggris tidak memungkinkan pemerintah mencampuri urusan antar swasta, dalam hal ini antara Iceland dan Greenpeace versus industri sawit Malaysia dan Indonesia. Namun demi menyelamatkan kepentingan ekonomi yang lebih besar dimintalah Clearcast untuk melaksanakan fungsinya dengan sebaik-baiknya.
Sebagai akibat dari tidak diloloskannya iklan itu, Clearcast lalu mendapat “tekanan massa” melalui berbagai cara sehingga terpaksa menutup laman Facebooknya karena terlalu banyak mengalami “penyalahgunaan”. Mereka pun meniadakan informasi dan foto stafnya dari website untuk menghindari perundungan (bullying) dari berbagai pihak. Para staf merasa terancam setelah fotonya diedarkan di internet oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan keputusan Clearcast tidak meloloskan iklan itu.
Siapa sebenarnya yang kotor dan jahat?