JAKARTA, SAWIT INDONESIA – RSPO diduga menghindari pembayaran pajak (tax evassion) dari pendapatan berasal iuran anggota dan perdagangan CPO bersertifikat, yang seharusnya dibayarkan kepada Ditjen Pajak Kementerian Keuangan. Redaksi Majalah SAWIT INDONESIA menerima salinan surat yang dikirimkan melalui email terkait dugaan penghindaran pajak oleh RSPO di Indonesia senilai Rp 8 miliar per tahun.
Dalam surat bertanggal 10 Januari 2018 yang ditujukan kepada Robert Pakpahan, Dirjen Pajak Kemenkeu RI, tertulis empat fakta dalam surat yang mencantumkan identitas pengirim sebagai Concerned Citizen dari perusahaan sawit anggota RSPO.
Fakta pertama, RSPO adalah perusahaan yang didirikan dan terdaftar di Swiss. Beroperasi secara internasional dan bermarkas di Kuala Lumpur, Malaysia, dengan bentuk RSPO Secretariat Sdn.Bhd (atau Perseroan Terbatas). Menurut informasi dari staf RSPO, kantor perwakilan RSPO di Indonesia, adalah perwakilan dari RSPO Sdn.Bhd Malaysia, yang mewakili urusan RSPO di Indonesia, dan sudah mendaftarkan sebagai BUT (Bentuk Usaha Tetap). Tetapi pajak yang dibayarkan hanya PPh dari gaji karyawannya dan penghasilan yang diperoleh dari Indonesia, dan bukan dari pendapatan Utama RSPO, yaitu subscription dari keanggotaan dan Contributions from sustainable palm oil trade (Certified Sustainable Palm Oil).
Kedua, penghindaran pajak dilakukan adalah pembayaran iuran dan perdagangan premi sertifikat sawit lestari ke RSPO Malaysia. Seharusnya pajak tetap dibayarkan pihak RSPO Indonesia atas pendapatan dari pembayaran iuran dan premi sertifikat sawit lestari.
Ketiga, Jika RSPO tidak melakukan tax evasion, maka pajak yang dibayarkan oleh RSPO Indonesia paling tidak Rp 8 miliar hanya pada tahun 2016. Sementara RSPO sudah ada sejak 2004. Hitungan ini berasal dari pendapatan utama RSPO adalah dari Subscription dari anggota sebesar 2.000 Euro. Anggota dari Indonesia adalah 115 organisasi. Kemudian paling besar dari kontribusi penjualan sertifikat minyak sawit lestari (Certified Sustainable Palm Oil, CSPO). Indonesia menghasilkan 46% dari penjualan CSPO. Apabila, jika biaya RSPO Indonesia adalah Rp 9,046 miliar (pendapatan bersih kena pajak Rp 40 miliar), maka dengan tarif PPh 20%, PPh badan yang harus dibayar adalah Rp 8 miliar.
Keempat, di Malaysia RSPO hanya membayar pajak dari pendapatan dari non ordinary members (yang iuran tahunan lebih kecil). Tetapi, kategori members lain dan dari supply chain certificate trade, tidak dihitung. Dengan begitu menunjukkan RSPO (Malaysia dan Indonesia) tidak mematuhi hukum setempat (Prinsip & Kriteria RSPO 2: Kepatuhan terhadap Hukum) karena melakukan tax evasion.
Menanggapi tudingan penghindaran pajak, Tiur Rumondang, RSPO Country Director Indonesia Operation menyebutkan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) telah menerima informasi terkait laporan melalui surat terbuka mengenai dugaan penghindaran pajak yang dilakukan oleh RSPO. RSPO ingin mengklarifikasi bahwa RSPO beraktivitas dan beroperasi dengan menjunjung tinggi integritas dan secara penuh patuh kepada peraturan pajak yang berlaku di Indonesia dan Malaysia.
RSPO, kata Tiur, merupakan organisasi nirlaba yang terdaftar di Swiss, dengan kantor sekretariat berada di Kuala Lumpur, Malaysia. “Sebagai sebuah organisasi internasional nirlaba yang berbasis keanggotaan, tidak ada motivasi ataupun insentif bagi kami untuk melakukan kegiatan seperti yang dituduhkan di surat tersebut,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Senin, 22 Januari 2018.
Menurut Tiur, RSPO Secretariat Sdn.Bhd (RSSB) berdiri di Malaysia untuk memberikan dukungan operasional untuk RSPO dan kegiatan RSPO. Di Indonesia, RSSB kemudian membentuk kantor perwakilan atau Representative Office (RO) berdasarkan izin yang diberikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
“RO beroperasi sesuai dengan kegiatan-kegiatan yang disetujui oleh BKPM, dan memenuhi persyaratan kewajiban pajak di Indonesia sesuai dengan ketetapan dari Direktorat Jenderal Pajak,”pungkasnya.
Sumber foto: screenshot surat terbuka terkait penghindaran pajak RSPO di Indonesia