JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Selama delapan tahun terakhir, permintaan minyak sawit bersertifikat RSPO berjalan stagnan. Kalangan produsen mengeluhkan rendahnya pembelian minyak sawit bersertifikat dari sektor manufaktur dan konsumer.
Prof.Bungaran Saragih, Pengamat Pertanian mengakui penyerapan minyak sawit bersertifikat RSPO menjadi perhatian beberapa tahun terakhir. Tingginya suplai minyak sawit bersertifikat tidak diimbangi penyerapan (uptake) terhadap produk tersebut.
“Penyerapan CSPO (red-certified sustainable palm oil) tidak mencapai 50 persen. Pembeli dan dowsntream termasuk NGO kurang mengupayakan uptake ini,” ujar Bungaran saat dijumpai di Nusa Dua, pekan lalu.
Ia mengatakan seharusnya anggota RSPO baik sektor hulu, hilir, dan NGO memperjuangkan praktik dan tata kelola sawit berkelanjutan. Temasuk juga penyerapan. Jika penyerapan tidak memadai maka usaha menerapkan prinsip dan kriteria RSPO akan melambat.
“Dari kalangan plantation berpendapat, mereka berkomitmen hasilkan minyak sawit bersertifikat. Tapi tidak dijual sebagaimana mestinya,” kata Bungaran Saragih yang menjabat Menteri Pertanian 2000-2004.
Berdasarkan data RSPO, penjualan minyak sawit bersertifikat RSPO turun menjadi 4.340.897 metrik ton pada 2018 daripada tahun sebelumnya 4.511.050 metrik ton melalui mekanisme Identity Preserved (IP), Segregated (SG), dan Mass Balance.
“Kami tidak melihat permintaan baru untuk minyak sawit berkelanjutan,” kata Mohd Haris Mohd Arshad, Downstream Managing Director of Sime Darby Plantation, pekan lalu, seperti dilansir Reuters.
Carl Bek-Nielsen, Chief Executive of United Plantations (UTPS.KL) mengatakan perusahaan konsumer yang menjadi anggota RSPO tidak menjalankan bagiannya dengan baik.
“Ketika konsumer mendapatkan tekanan, satu-satunya yang mereka takutkan membayar sedikit harga premium”, pungkasnya.